04

5K 776 117
                                    


Jika cinta itu sama dengan hujan

Maka kaulah tetes air yang mengalir itu

Menerpa tubuhku, membasahi hatiku

Membuatku mampu bermimpi,

Bahwa mungkin akan ada 'bahagia selamanya' untuk kau dan aku...

[ M e n g h i t u n g  H u j a n ]
[4]

"Aku tidak bisa datang, maafkan aku, Jaemin." Mark mengeraskan hatinya.

Jaemin harus belajar kuat tanpanya. Kalau setiap Jaemin lemah dan Mark datang, Jaemin akan terus bergantung kepadanya, hatinya akan semakin sakit dan semakin menderita. Mark menyayangi Jaemin. Hanya itu. Pertunangan mereka bertahun lamanya, persahabatan mereka dari kecil hanya menyisakan satu hal di dada Mark, rasa sayang.

Debar itu sudah tidak ada lagi untuk Jaemin. Jantung itu sudah tidak lagi mengharapkan Jaemin di sampingnya.

Suara isak Jaemin mengalun perlahan, isak pemuda yang patah hati "Setega itukah kau padaku, Mark? Aku bagaikan sampah bagimu."

"Aku hanya ingin kau kuat, Jaemin."

"Kuat?" Jaemin tertawa di sela isak tangisnya, "Dulu aku kuat, karna aku harus menopangmu. Kau sakit, dan aku berjuang supaya kuat, karena salah satu dari kita harus kuat untuk mendukung yang lain." Suara Jaemin terdengar penuh kesakitan, "Lalu kau menghancurkanku."

Mark memejamkan mata, merasakan kesakitan memenuhi badannya. Jaemin memang benar, tetapi dia bisa apa?

"Maafkan aku Jaemin."

"Tidak." Jaemin bersikeras, "Aku tidak akan memaafkanmu, Mark. Bertahun-tahun kuhabiskan hanya untuk mendampingimu. Karena aku mencintaimu. Tetapi kau membuangku begitu saja. Hanya karena jantung itu."

"Kau boleh membenciku semaumu. Aku pantas menerimanya. Kalau dengan membenciku kau bisa sembuh dan melangkah ke dalam kebahagiaan baru, aku rela kau benci.” gumam Mark pelan.

Hening. Jaemin termenung di seberang sana. Lalu ada helaan napas di sela isak tangisnya. "Seharusnya waktu itu kau bunuh saja aku."

Teleponpun ditutup. Meninggalkan Mark yang termenung di tengah kegelapan kamarnya.

[•]

Malam itu Haechan bermimpi, mimpi tentang Lucas, tentang kenangan-kenangan mereka bersama di masa lampau. Saat-saat bahagia itu..

Mereka sedang duduk di pantai yang mereka kunjungi waktu liburan masa lalu, di pasir tanpa alas. Menghadap ombak di bawah langit jingga yang siap menghantarkan matahari masuk ke peraduannya.

"Tidak ada yang namanya bahagia selamanya." Lucas bergumam sambil tersenyum lembut, melirik novel cinta yang sedang dibaca oleh Haechan. Haechan mendongak dari novel itu. Cahaya makin temaram, membuat huruf demi huruf makin berbayang, dia menyerah dan menutup novelnya.

"Kenapa?"

"Karena hidup terus berputar, manusia yang bercinta harus menghadapinya. Mereka bisa bahagia karena cinta, tetapi terkadang menangis juga karenanya, begitulah hidup, begitulah cinta." Lucas menatap Haechan dengan mata teduhnya, "Dan karena ada kematian. Suatu saat manusia harus siap menghadapi kematian, dipisahkan satu sama lainnya."

Haechan merenungkan kata-kata Lucas. "Kau tahu kenapa aku menyukai novel-novel percintaan?"

"Karena mereka semua selalu berakhir hidup bahagia selamanya?"

"Bukan." Haechan menggeleng. "Karena novel percintaan itu selalu berakhir di saat mereka paling bahagia. Seakan hidup mereka berhenti disana, setelah tulisan 'the end', di titik para tokohnya paling bahagia."

Menghitung Hujan (Markhyuck)Where stories live. Discover now