BAB 08

3.7K 137 0
                                    

Pancaran sendu bertengger di sorot mata Alea. Perempuan itu membaringkan tubuhnya seraya menatap langit-langit kamar. Bibirnya tersenyum sumir, dengan malu-malu ia merangkai sebuah khayalan. Yang mana itu hanya dirinya yang bisa menyaksikan. Tayangan keluarga cemara yang hidupnya selalu bersama, berkegiatan penuh suka cita tanpa adanya cekalan api amarah.

Alea terlalu sulit meneruskan alurnya karena dia sendiri tak pernah menjadi anggota dari keluarga cemara itu.

Ucapan Mahendra berhasil menghisap Alea ke pusaran masa lalu. Saat di mana dirinya kecil dan sudah dibiasakan oleh ketidaknormalan rumah tangga. Alea hanya bisa mendengarkan cerita teman-temannya. Entah bagaimana rasanya bermain bersama sosok ayah, Alea tak mampu membayangkannya bahkan sekadar dua detik.

Mahendra adalah manusia paling misterius yang Alea miliki di hidupnya. Sering terlintas pertanyaan dalam diri, mengapa harus Mahendra yang menjadi ayahnya?

Pria itu bukan lah anggota mafia yang harus disembunyikan identitasnya, tapi kenapa malah menutup diri seolah dia adalah seorang narapidana yang lepas dari sel? Mahendra terlalu brengsek untuk mendapat panggilan ayah, tapi Alea juga terpaut harapan supaya ayahnya bisa menyayanginya barang satu hari saja.

*

Bara menginjak pedal rem dengan seenak jidat membuat Adriel bangun dari tidurnya. Melihat tatapan mematikan dari Adriel, membuat Bara terkekeh. "Udah sampe."

Adriel mengusap wajahnya kasar untuk mengusir kantuk. "Jam berapa ini?"

Bara menilik jam ponselnya. "Masih jam satu, ayo turun."

Adriel turun dari mobil, ia merenggangkan tubuhnya sembari melihat tempat yang asing ini. Jika dijabarkan, mereka tiba di sebuah tempat yang dikelilingi barang-barang bekas atau rongsokan. Tapi orang-orangnya tak terlihat, mungkin tempat ini hanya diperuntukkan untuk menyimpan hasil kerjanya saja.

Bara terlihat menendangi kaleng-kaleng yang berserakan.

"Lo bisa berhenti nendangin itu, nggak?" hardik Adriel, merasa terganggu dengan bising yang dibuat.

"Nggak, gimana, dong?" Bara adalah satu-satunya orang yang bisa membalas ucapan Adriel dengan nada songong.

"Ngapain kita ke sini?"

Bara mengerut alis. "Ini markasnya, Bego."

Adriel berhenti di samping Bara, mereka sudah berada di sebuah garis. Di depan mereka adalah pintu yang sebenarnya terlihat seperti jeruji besi di penjara. Keduanya tidak dapat melihat secara leluasa bagaimana rupa di dalam ruangan tersebut karena gelap.

"Permisi!"

Adriel mengedarkan pandangan dari sisi ke sisi, yang setidaknya bisa ia lihat, tentu akan ia teliti. Dan itu tak sia-sia, Adriel menemukan sebuah mata pisau tanpa gagang. Bara menarik Adriel. "Jangan"

"Cuma mau liat," tandas Adriel.

Bara mendengus sebal. Sesekali matanya ikut melihat ke mata pisau yang sedang Adriel mainkan.

"Ada bekas darah."

"Darah ayam."

Adriel menoleh. "Bisa gak si lo serius?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 02, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

YAHBIMLAGO : AleaWhere stories live. Discover now