Alpa

80 7 0
                                    

Benar saja, sejak saat itu Jani tak pernah berkunjung ke kedai, tak pernah kulihat ia menikmati senja di Parangtritis. Dirinya seperti hilang ditelan bumi. Apakah Jani memang ditakdirkan untuk seperti ini, hanya singgah dan memberikan rasa yang kuat, lalu menghilang dan menyisakan tanda tanya yang tak kalah kuat. Perasaanku saja belum terjawab, namun ia sudah lebih dulu menghilang dari hadapanku. Rheza hanya mampu berharap semesta dapat membawa Jani kembali kesisinya.

Sementara itu, Jani tidak benar-benar pergi dan menghilang. Beberapa bulan setelahnya Jani telah menyelesaikan masa kuliahnya. Semua bergembira atas hal itu. Namun Jani sadar bahwa perjalanan panjang baru akan dimulai sejak hari itu.

"Kamu yakin Jani?"

"Keputusanku sudah bulat Put, doakan ya."

"Jaga diri baik-baik ya Jani, kalau ada yang jahat sama kamu di Malang bilang sama aku," ucap Nana.

"Aku di Malang nggak lama kok."

"Tetep aja, kita pasti bakal kangen sama kamu Jani."

"Duh kalian ini lebay," Jani terkekeh.

Keputusannya telah bulat untuk meninggalkan kota ini. Jani mengemas segala hal yang akan ia butuhkan selama di Malang, termasuk perasaan dan seluruh kenangan yang tertinggal di kota ini. Besi tua membawa dirinya tenggelam dalam lamunan masa lalunya, kejadian manis selama digerbong kereta bersama Alfin, menikmati mentari pagi dengan mentarinya yang kini telah mati. Bianglala itu, senja di pantai itu, kota Malang begitu menyajikan banyak kenangan manis tentang Alfin. Kota yang akan Jani tempati kini. Semua kenangan dengan Alfin seakan terus berputar layaknya bianglala. Satu persatu membangkitkan kenangan tentangnya, iya, masih saja tentangnya. Dan rasanya pun masih sama. Tidak ada yang berubah sedikitpun, hanya saja kini rasa itu milik Jani seorang diri. Jika kau bertanya mengapa Jani kembali lagi ke kota ini, jawabannya ada dua; pekerjaan dan perasaan.

Setelah lulus, Jani langsung dikontrak kerja oleh perusahaan penyedia jasa. Kini, Jani sedang ditugaskan di Kota Malang. Sebagai karyawan, ia hanya bisa menurut dengan atasannya. Sudah hampir satu tahun Jani di kota ini. Bergelut dengan banyak hal dikota ini. Kini Jani hanya tinggal menunggu hari kepulangannya.

***

Menghabiskan waktu di kedai kopi adalah kegiatan rutin Jani selama di Malang. Kedai kopi yang menyimpan satu memori tentangnya, lagi-lagi tentangnya. Dahulu, di kedai kopi ini, ada cinta yang diracik sepenuh hati yang disajikan untukku, hanya untukku. Dimana ditiap tegukannya terasa begitu manis, semanis janjimu dulu.

Kedai kopi ini menjadi saksi bahwa episode bahagia dalam hidupku pernah terjadi disini. Dimana kau terus saja menuliskan episode-episode paling bahagia dalam hidupku, sehingga aku semakin jatuh dalam kisah yang kau rangkai. Bodohnya, aku terlalu larut dalam kisah ini, hingga aku lupa bahwa kisah yang kau rangkai tidak selalu tentang episode bahagia. Kau memberiku episode luka untuk pertama kalinya dengan meninggalkanku pergi ke negeri seberang. Kupikir, ini hanya satu episode, setelahnya adalah happy ending. Ternyata aku salah, kau terus saja merangkai episode-episode luka. Tadinya aku pikir kau salah menuliskannya, merangkainya. Kucoba pahami sekali lagi. Namun, kau datang padaku membawa semua episode yang telah kau rangkum dan sudah menjadi buku. Kau memberikannya langsung kepadaku, memberikan akhir yang begitu pilu. Tidak mungkin! ini sungguh tidak mungkin! Tadinya aku terus meminta ia untuk merevisi halaman terakhir, episode terakhir dalam kisah itu. Tapi ia hanya diam. Dia menjelaskan dengan sabar bahwa itu sudah yang terbaik. Episode terakhir penuh luka, penuh air mata. Ia benar-benar telah membawaku larut dalam kisahnya, episode demi episode terangkum, hingga akhirnya kini kita dipenghujung halaman. Dan kau mengakhiri ini semua dengan mudah. Menutup kisah itu dengan mudah. Kau memutuskan untuk menyerah dan tak melanjutkan kisah itu lagi! lalu kenapa?! kisah yang sebelumnya telah kita sepakati dengan nama 'bahagia' kemudian berganti judul menjadi 'hilang' kenapa hilang? suatu buku harus mencerminkan isinya. Hilang adalah kata yang paling tepat untuk mencerminkan kita, mencerminkan perasaanku. Tega sekali dia berucap seperti itu! Hilang yang kau maksud itu, kau menghilangkanku, dan aku kehilanganmu, seperti itu?! ini benar-benar tidak adil. Aku menuliskannya sampai disini ya, episode selanjutnya, biar kau tulis sendiri, atau biarlah seseorang yang lain yang akan merangkai kisah yang mungkin jauh lebih indah. Aku pergi. Kemudian ia menutup kisah itu. Benar-benar menutupnya. Kini judulnya benar-benar 'hilang' kisah ini kehilangan pemiliknya. Aku terus mencoba melangkah walau sulit, mencoba menuliskan kisahku sendiri. Namun, aku tetap merasa bahwa episodenya belum selesai, seperti ada episode terlewat, atau belum sempat kau tulis. Atau mungkin, akan ada buku kedua dengan kisah yang jauh luar biasa. Sayangnya sampai hari ini tidak. Tidak ada kelanjutan dari kisah itu. Judulnya sudah benar 'hilang,' aku yang kehilangannya, dan dia yang telah menghilangkanku.

HILANGWhere stories live. Discover now