Prologue

25.7K 1.4K 48
                                    

"LEE Haechan."

Sang pemilik nama yang merasa terpanggil itu segera melangkah menuju meja registrasi ulang dengan membawa satu map berisi berkas di tangan kanannya.

Langkahnya cepat. Peluh sudah sedari tadi bercucuran di wajahnya yang manis bagi seorang anak Adam sepertinya. Nafasnya tidak teratur seolah harimau kelaparan tengah mengejarnya saat ini juga. Tangannya gemetaran, entah dapat memegang berkas tersebut dengan benar atau tidak.

Semua hal itu terjadi karena hari ini.

Hari pertama proses karantina peserta olimpiade fisika tingkat nasional dimulai.

Tiga orang yang mewakili wilayah Busan—termasuk Haechan—telah tiba di Bandara Incheon beberapa saat yang lalu. Total dari seratus delapan puluh enam peserta dari berbagai wilayah di Korea Selatan kini tengah berkumpul di ruang serba guna yang disediakan oleh pihak bandara demi keamanan pelangsungan proses registrasi ulang peserta olimpiade. Wanita dan pria di balik meja pelangsungan akan memberi mereka sebuah tanda pengenal, name tag, dan membacakan grup yang mereka dapatkan secara acak.

Haechan sendiri sejak tadi sudah takut—lebih resah karena pembagian grup ketimbang kegiatan belajar satu minggu penuh yang akan ia ikuti.

"Lee Hae—"

"Saya. Saya di sini!"

Wanita berpakaian serba putih di balik meja registrasi ulang itu mengernyit. Matanya tak henti menatapi tubuh Haechan yang penuh peluh dari ujung rambut hingga senti terakhir kaki jenjangnya.

"Ini," ia menjeda sebelum memberikan sebuah tanda pengenal. "Name tag milikmu."

"A-ah? Terima kasih."

Saking gugupnya, Haechan menerima tanda pengenal berwarna kuning cerah itu dengan kedua tangannya sembari membungkuk sembilan puluh derajat dan membuat wanita di hadapannya kembali mengernyit.

"Lee Haechan-ssi—" ia menghela nafas. "—kelompok merah."

"Maaf?"

"Kau. Kelompok merah."

Haechan mengikuti arah telunjuk wanita tersebut dan mendapati segerombol anak sebayanya yang mengenakan sebuah varsity berwarna merah. Tampaknya seragam khusus grup karena mereka semua memakainya.

"Kau bisa ambil milikmu di sayap kanan ruangan."

Haechan mengangguk. Salah satu dari tangannya terulur untuk sekadar mengambil goodie bag yang diserahkan oleh wanita itu. Kemudian, ia menunduk dan mengucapkan terima kasih sebelum pada akhirnya melangkah pergi menuju tempat duduknya semula.

Belum.

Ia belum mengambil varsity seragam miliknya seperti yang wanita itu perintahkan.

Kedua tungkai jenjangnya membawa pemuda berkulit cokelat itu kembali ke tempatnya duduk bersama seorang guru pendamping yang bertugas untuk mengawasinya selama seminggu penuh. Pria berusia lebih dari kepala tiga itu tersenyum riang dan melambaikan tangannya dari kejauhan.

"Haechan-ssi!"

Lee Taeyong.

Guru mata pelajaran fisika di sebuah sekolah swasta tempat Haechan menempuh pendidikan. Eksistensinya di Seoul selama satu minggu berhasil membuat para murid lainnya di sekolah menjerit girang akibat tidak mendapatkannya sebagai pengajar mata pelajaran paling dibenci di tingkat sekolah menengah atas. Tidak tahu saja mereka jika Taeyong telah menyiapkan sosok guru pengganti yang lebih kejam dibanding dirinya.

Omong-omong, pria flamboyan bersurai hitam ini hanya bersikap hangat kepada lima orang—tiga anggota keluarganya, satu kekasihnya, dan satu sosok pemuda berkulit tan di hadapannya.

Murid emas miliknya.

"Bagaimana?" Taeyong bertanya heboh sembari tersenyum girang. "Grup apa? Dimana kartu tanda pengenalmu? Bersama siapa saja? Tadi sudah bertemu teman-teman satu grup belum?"

Haechan tertawa. Terkadang, ia tidak bisa membayangkan dualitas guru fisikanya ini.

Seperti malaikat di hadapannya, namun bagai setan bagi para murid lainnya.

"Belum bertemu," jawabnya lembut. "Sepertinya aku akan lama berada di sini. Kalau seonsaengnim ingin membeli kopi, beli saja. Jangan terlalu terpaku kepada aktivitasku."

"Tidak, tidak. Ssaem tunggu di sini."

Mau tidak mau, Haechan mengangguk pasrah sebelum dirinya berlari kecil menuju sebuah bilik yang dikhususkan sebagai tempat pengambilan varsity.

Tidak ada orang yang mengenalnya. Begitu pula sebaliknya—tidak ada orang yang Haechan kenal.

Pasokan oksigen yang dapat dihirup semakin menipis, membuat paru-paru Haechan berjengit kaget. Sesak—hanya itu yang mampu ia rasakan. Peluh semakin bercucuran dan terasa dingin di pergelangan tangan. Pandangan pemuda itu mendadak memburam tanpa adanya warna yang dapat ia saksikan. Merah, hijau, biru—seolah ia tidak pernah tahu menahu mengenai mereka.

Tahu-tahu saja—

Bruk.

—pemuda itu pingsan. []

***

© Rayevanth, 2019

[a/n]
yeay, new work omg :)
i recently got in the mood to write markhyuck fanfiction and nomin fics will be republish soon.
hope u like it and this is my first time writing markhyuck fanfiction. also, my writing style is a little bit different now.

soooo, don't forget to leave comment(s) and tap the star button:)

-ray, 2019

Too Kind • Markhyuck ✓Where stories live. Discover now