Epilogue

6K 812 93
                                    

"HYUNG."

Pemuda itu menoleh ke arah Haechan dengan pandangan yang sulit diartikan, membuat sosok yang lebih muda itu tertawa kecil.

"Lepaskan tanganku. Geli, tahu."

Alih-alih melepaskan genggamannya saat itu juga, Mark justru semakin mempereratnya. Bibir pemuda itu segera menghujani tangan mungil kekasihnya dengan kecupan ringan yang mampu membuat Haechan terbang menuju langit ke-tujuh.

"Hyung," ia merengek. "Ayolah."

Mark hanya mendongak, menatap Haechan dengan posisinya yang masih setia menciumi tangan anak tersebut tanpa peduli pandangan yang diberikan oleh para manusia yang lalu lalang sedari tadi.

"Mark-hyung!"

"Ada apa, 'sih—"

"Bagus. Anggap saja aku nyamuk."

Rose memandang sebal ke arah Mark. Pemuda itu tidak menaruh atensi sama sekali ke arah kakak perempuannya sehingga Haechan merasa jika ia harus meminta maaf kepada wanita yang sengaja meluangkan waktunya tersebut.

"H-hyung," anak itu terus merengek. "Sebentar lagi aku harus berangkat."

Mark menghela nafas.

"Kau dengar, Mark? Dia harus berangkat. Jadi singkirkan tangan kotormu itu dari tangannya—"

"Diam kau, noona."

Pemuda itu memberikan sebuah tatapan tajam ke arah wanita tersebut  sehingga membuat Rose diam. Wanita bersurai cokelat itu lebih memilih untuk tertawa kikuk dan menghubungi kekasihnya yang tidak bisa ikut mengantar Haechan karena sedang mengadakan rapat khusus dengan para rekan pengacaranya.

Menuruti kemauan kekasihnya, Mark berhenti menciumi tangan Haechan dan sibuk menggenggamnya seolah tangan mungil tersebut adalah sebuah barang pecah belah.














"Jangan pergi."














Mark menjatuhkan kepalanya di atas pundak Haechan. Wangi cologne bayi yang pemuda itu kenakan dapat tercium dengan mudah. Mantel bulu berwarna putih yang ia kenakan terasa empuk ketika kepala Mark bersandar di sana—membuat pemuda itu tidak ingin melepas genggamannya dan mengangkat kepalanya sekalipun ia harus.

Haechan tidak dapat menyembunyikan wajahnya yang merah merona.

Kemarin memang mereka sudah berciuman. Di bawah air pula. Tetapi, siapa sangka jika Haechan sama sekali belum terbiasa dengan tingkah Mark yang sering kali membuatnya kesulitan untuk bernafas dan merasa malu karena semburat merah terus-menerus merajai wajahnya.

"H-hyung," panggilnya perlahan.

Seperti biasa, pemuda yang terpanggil hanya berdeham pelan saja.

"Aku akan baik-baik saja," kata Haechan, memaksa dirinya untuk berhadapan dengan wajah Mark sehingga sebuah senyuman terbentuk di sana. "Aku tidak akan pernah melupakanmu. Kita hanya berjarak tiga ratus dua puluh lima kilometer—cukup jauh juga, 'sih. Tetapi, tidak apa. Aku akan baik-baik saja dan jika sudah sampai Busan nanti, yang pertama ku hubungi adalah kau."

Mark beralih menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sosok yang lebih muda. "Jangan lupa, sekali-sekali pulang ke Seoul."

"Tapi, hyung," Haechan memiringkan kepalanya sembari tersenyum kikuk. "Rumah-ku di Busan, bukan di Seoul."

"Maksudku—"

Mark mendesah panjang. Ia tahu. Berdebat dengan Haechan itu tidak ada gunanya. Ia jelas tidak mau kejadian keduanya terakhir kali di bandara terulang kembali.

Too Kind • Markhyuck ✓Where stories live. Discover now