Part 15

4.9K 820 41
                                    

"PETUGAS... misdinar?"

Mark menoleh sedikit ke arah Haechan yang tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya.

Kini keduanya tengah berada di kamar tamu yang akan ditempati oleh Haechan selama tiga hari. Sementara sang pemilik mansion sedang membersihkan beberapa sudut dari kamar yang nyatanya jarang digunakan tersebut, Haechan sibuk mengeksplorasinya. Mulai dari piala-piala yang berjajar di sebuah lemari kaca, puluhan buku yang tertata apik di dalam lemari kayu, bahkan beberapa pajangan yang diletakkan di atas rak berwarna cokelat-semua itu tidak luput dari pandangan Haechan yang mengedar ke seluruh ruangan, mau tidak mau mengakui jika ia merasa penasaran dengan kamar milik pemuda Kanada tersebut.

Kemudian, secara tidak sengaja, pandangannya jatuh kepada sebuah foto yang terpajang di sebuah pigura.

Sebuah foto yang memuat beberapa anak laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian serba putih dengan samir dan mozeta merah sebagai pelengkap. Dengan mudah, Haechan dapat menemukan Mark yang tengah berpose di dalam foto tersebut. Bibir milik pemuda berdarah separuh Kanada itu membentuk sebuah kurva ke atas dan tangan kanannya merangkul seorang laki-laki yang berdiri di sampingnya. Semua anak di dalam foto tersebut juga membawa sebuah daun palma berwarna hijau di tangan mereka.

Akibat termakan rasa penasaran, Haechan pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Mark.

"Ah, foto itu?" Pemuda tersebut balas bertanya. "Itu sudah sangat lama."

Karena tidak mendapatkan balasan apapun dari Haechan, Mark pun memutuskan untuk bercerita sedikit mengenai kisah di balik foto tersebut.

"Lima tahun," ia memulainya. "Lima tahun aku bertugas sebagai misdinar. Melayani di hari Sabtu dan mendatangi pertemuan di hari Minggu pagi."

Mark menghela nafas.

"Tetapi, hanya lima tahun."

Haechan bergeming-tidak berniat untuk bersuara sedikit pun.

"Ayah marah."

Terbawa suasana, Haechan seolah dapat mendengar suara dentingan piano yang memainkan sebuah alunan melodi klasik yang mencerminkan kesedihan yang mendalam.

"Ayah murka. Ia tidak suka melihat ku sibuk berkegiatan di dalam gereja," Mark melanjutkan ucapannya. "Kemudian, ia memaksaku untuk menarik diri dari segala kegiatan yang diselenggarakan oleh pengurus misdinar. Tanpa sepengetahuanku, Ayah mengirim sepucuk surat kepada Ketua dan ketika aku menghadiri sebuah acara minggu itu, teman-teman gereja-ku mulai menjauhiku."

Haechan menghela nafas. Ia tidak bisa menyembunyikan empatinya ketika berhadapan dengan kisah memilukan seperti ini. Menyadari kondisinya, Mark memilih untuk tersenyum tipis dan kembali melanjutkan kegiatannya semula.

"Terus terang, I have no idea," Mark berkata. "Ayah melakukan apa pada mereka. Saat ku tanya, hanya sunyi yang kudapatkan. Miris sekali."

Lagi-lagi, Haechan bergeming.

Jauh di dalam lubuk hatinya, pemuda itu ingin meminta maaf-telah mengungkit sesuatu yang cukup miris kedengarannya. Namun, ia berpikir berulang kali untuk melakukannya ketika ia menyadari jika sosok di hadapannya ini adalah Mark Lee.

Kalau dibilang kepercayaannya terhadap pemuda itu sudah hilang, memang benar adanya.

Ia sudah tidak bisa melihat Mark dengan cara yang sama lagi-memujanya bagaikan dewa setiap dua puluh empat jam sekali.

Haechan tidak bisa.

***

"INI ruang tamu."

Too Kind • Markhyuck ✓Where stories live. Discover now