Part 17

4.9K 826 51
                                    

CAHAYA matahari yang terik masuk ke dalam ruangan melalui celah pada tirai penutup jendela.

Burung-burung mulai bertengger di atas dahan, bersuara, dan membuat beberapa penghuni rumah terbangun. Samar-samar dapat terdengar gemerisik air di kolam renang yang sedang dibersihkan oleh beberapa petugas. Kedua suara yang mendominasi pagi hari tersebut rupanya mampu bekerja sama, menghasilkan melodi yang indah bagaikan lagu pengantar tidur.

Namun, hal itu justru membangunkan Haechan yang tertidur lelap semalam.

Pemuda itu mengerang, mencoba untuk mengeluarkan suaranya yang cukup parau. Kedua bola matanya berusaha untuk menerima rangsang cahaya dan beradaptasi dengan teriknya mentari pagi ini. Sesekali ia mengusap kelopak matanya agar nyeri tidak ia rasakan ketika berhadapan dengan sinar itu.

Pemuda itu membalik badannya hingga tubuh mungilnya menghadap ke atas, meratapi atap bertabur bintang yang ia ketahui sebagai kenangan Mark semasa kecil.

Ah, iya.

Sontak, Haechan menolehkan kepalanya menuju sisi kanan dan bergeming ketika ia menyadari jika dirinya tertidur di dalam pelukan pemuda itu semalaman penuh.

Malu, bisa dikatakan begitu.

Wajahnya merah merona. Jujur saja, ia merasa nyaman dan hangat ketika tubuh ringkihnya dipeluk oleh Mark. Seolah tidak ada permasalahan yang tengah ia hadapi-walau nyatanya guntur dan suhu yang terlewat dingin menjadi masalahnya malam itu.

Haechan tidak melepas pandangannya dari pemuda berdarah separuh Kanada yang meninggalkan secangkir susu panasnya di atas nakas dengan kondisi setengah cangkir utuh semalam.

Ia tertawa kecil.

Sejujurnya, Haechan tidak pernah menyangka jika ia akan menjadi sedekat ini dengan sosok pemuda yang menjatuhkannya saat olimpiade fisika tingkat nasional berlangsung. Bahkan, ia tidak menyangka jika pemuda itu berani untuk meminta maaf dan bertanggung jawab atas kesalahan yang telah ia perbuat.

Ketika ia tenang, Haechan baru menyadari segelintir hal.

Wajah Mark itu sempurna.

Parasnya tampan. Bibirnya kemerahan tanpa memerlukan polesan apapun. Alisnya tebal dan berbentuk cekungan, membuat Haechan tertawa akibat bentuknya yang menyerupai burung camar. Matanya yang besar. Garis wajahnya yang tampak seperti pahatan mahakarya oleh seorang pemahat ternama sedunia. Hidungnya tidak terlalu bangir, tetapi bentuknya bagus.

Semuanya sempurna.

Semburat merah kembali menguasai wajah Haechan yang kini memutuskan untuk menoleh ke sembarang arah sebelum pada akhirnya turun dari ranjang dan meninggalkan Mark yang berbaring sendirian di dalam kamar.

Udara di pagi hari terasa cukup bagus. Tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Beruntung, banyak pepohonan ditanam di sekitar kawasan utama mansion sehingga oksigen yang dihasilkan cukup banyak.

Haechan pergi menuruni tangga hingga berpijak di lantai satu. Kedua tungkainya membawa pemuda itu menyusuri koridor di dalam rumah yang berhias tanaman gantung di sisi kanan dan kirinya. Koridor itu menyajikan pemandangan berupa kebun bunga dengan meja makan berbahan kayu di tengahnya. Sepertinya biasa digunakan untuk acara menjamu tamu atau upacara meminum teh.

Berkat penjelasan yang Mark berikan kepadanya kemarin, Haechan tidak lagi ragu. Ia tahu jika koridor ini terhubung ke arah dapur utama.

Beruntung, tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada seekor anjing Akita Jepang milik kakak perempuan Mark.

"Halo, Hugo," Haechan tersenyum lebar sembari mengelus puncak kepala anjing tersebut. "Dimana pemilikmu? Belum terbangun?"

Hugo menggeleng seolah ia mengetahui maksud dari pertanyaan Haechan. Tiba-tiba, seorang wanita keluar dari pintu di seberang pantry dengan celemek di sekeliling pinggulnya. Wanita itu bergegas menghampiri Haechan yang tengah bersiul selagi mengambil beberapa peralatan untuk memasak.

Too Kind • Markhyuck ✓Where stories live. Discover now