bag.1

33.1K 969 466
                                    

**

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

**

Jakarta.

Kota polusi yang tak pernah tidur katanya, memang benar. Tak sekalipun jalanan di kota Jakarta berhenti digores oleh roda kendaraan yang meluncur 24 jam. Begitu pun dengan mobil mewah yang benar-benar membuat kaum miskin menggigil melihatnya. Pria dengan kacamata hitam yang mengendarai mobil mewah itu tersenyum kecil. Tak perlu lakukan banyak hal, mobilnya langsung menyita perhatian.

Mobilnya meluncur dengan kecepatan sedang, selagi bisa menyombongkan diri di ibukota Indonesia, mengapa tidak? Axel, sebut saja begitu. Tak butuh waktu lama, mobilnya terparkir rapi di area parkir sebuah perusahaan besar. Dan pastinya, seperti kebanyakan cerita lainnya, tokoh utama dalam cerita ini adalah seorang CEO. "Panas sekali," keluhnya. Maklumi, ini Jakarta!

Axel menjatuhkan kakinya lalu melangkah cepat sambil mengacak rambutnya. Bukan tanpa sebab, Axel pintar menebar pesona. Bahkan hanya mengedip dan bernapas saja sudah termasuk dalam pesona Axel. Tubuh pria angkuh yang tampak proporsional itu memasuki perusahaannya, menaiki lift sampai dirinya berdiri di depan pintu hitam yang bertuliskan "PRESIDENT DIRECTOR'S ROOM" (RUANGAN KETUA DIREKTUR). Axel mengetuknya sekali, kemudian membukanya.

Kakinya bergerak untuk masuk ke dalam dan helaan napas berat terdengar dari Axel. "Felix?" tanyanya sedikit syok. Axel memukul keningnya cukup keras lalu berdecak sembari menutup pintunya lagi. "Kenapa kau bisa ada di sini?!" kesal Axel. Teman seperbangsatannya dulu kini berada di ruangannya. Bagaimana bisa bocah Filipina itu tiba-tiba ke Indonesia tanpa kabar? Dan lagi, kenapa tiba-tiba Felix sudah ada di ruangannya? Hanya Axel sendiri dan Daniel—sekretaris Axel yang memiliki akses atas ruangan ini.

"Hanya ingin ke sini sebentar, selagi aku ada di Indonesia," balas pria jangkung yang tadi disapa Felix itu. Ia sedang duduk di sofa sambil melipat satu kakinya di atas kakinya yang satu lagi. Telinganya terselip airpods dan tangannya memegang ponsel yang setipe dengan Axel.

Axel hanya memutar bola mata dengan jengah, lalu beralih duduk di kursi kebesarannya yang letaknya di pojok ruangan. Di depan kursinya tentu ada meja dengan ukuran yang sinkron. "Ambilkan aku wine di sana," pinta Axel, jari telunjuknya mengarah pada kulkas hitam cukup tinggi di sebelah wastafel.

Felix yang mendengar Axel bicara sesuka hati begitu akhirnya geram, "Bisakah kau berhenti semena-mena? Aku bukan pesuruhmu, lagi pula wine itu bisa membunuhmu, tidak sehat!" Selesai mencibir, Felix memasukkan ponselnya ke dalam saku.

Axel menggeleng tak acuh. "Kalau tidak semena-mena lalu pekerjaanku apa?" sahut Axel tanpa malu. Padahal, Felix sudah memberikan tatapan tak suka pada Axel. Walaupun mereka berdua bangsat, tapi percayalah bahwa Felix seorang Tuan Hidup Sehat. Felix tahu bagaimana cara untuk membunuh diri sendiri dengan lebih epic. Mabuk-mabukan terlalu mainstream, dan Felix tak suka yang mainstream.

"Um, perusahaanmu bangkrut lagi?" tanya Axel, cukup menarik darah Felix menjadi tinggi menjulang.

"Jaga mulutmu sebelum kurobek bibir murahan itu!" balas Felix tak kalah tajam. "Aku berlibur, memangnya alasan apa lagi?"

Axella [PROSES REVISI]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin