bag.15

8K 318 89
                                    

- pergilah -

Tubuh Axel merosot kebawah, berjongkok sambil menyenderkan punggungnya di pintu ruang rawat Avista. Perasaannya campur aduk, sakit, sesak, entahlah semua rasa sakit ini menyiksa Axel.

Axel meraup wajahnya, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Bahu pria itu terus bergetar, tersirat penyesalan yang sangat mendalam, terlihat dari tatapan mata pria tampan itu.

Bibirnya tak berhenti bergerak meramalkan semua doa yang tertuju pada Avista. Axel menghela berat, mengapa ini sangat sakit? Yang sedang terbaring lemah disana Avista bukan Axel. Tetapi kenapa Axel yang seakan merasakan sakit?

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Orang tua Avista tak membolehkan dirinya untuk masuk kedalam kamar rawat Avista. Apa dia harus memohon? Seorang Axel takkan melakukan itu! Sampai sekarang, dia hanya jongkok di depan pintu rawat Avista sambil menangis. Cairan bening itu membuat sungai kecil di pipinya. Walaupun tertutupi oleh tangannya, Ezra dan Randy tau dia sedang menangis.

Ezra melihatnya dari samping, dia bisa melihat raut khawatir dan penyesalan Axel yang mendalam. Yang benar saja, dia meninggalkan Avista ditengah jalan yang Avista sama sekali tidak tau daerah itu?

Axel mengacak rambutnya frustasi, menghapus jejak jejak air mata yang membuat matanya kini sembab. Tangisnya mulai reda setelah beberapa saat kemudian, tersisa isakan-isakan kecil keluar dari mulutnya. Sampai suara lirih menyapanya.

"Axel ..."

Randy dan Ezra menoleh, Axel mendengarnya, hanya saja dia masih sibuk dengan Avista. Pikirannya, semua tertuju bagaimana dia bisa bertemu dengan Avista. Wajahnya tertunduk, seakan dia sudah putus asa.

"Tante Syara tidak mengizinkan kau bertemu Avista .... Dia benar-benar kecewa denganmu," ucap wanita yang kini ikut berjongkok di depan Axel. Memegang bahu Axel yang bergetar hebat itu. Sudahlah penyesalan Axel tak berguna, air mata itu tidak membuat Avista sembuh juga.

Axel yang mendengar itu langsung menatap ke arah wanita yang ada di depannya kini, Lola tadi yang bicara.

"Aku mau kau berubah, Xel. Kumohon, kau pasti bisa tidak meremehkan perasaan wanita lagi, lihat?Kau juga merasakan sakitnya Avista," sambung Lola. Tangannya melepas pegangan di bahu Axel.

"Jangan pernah lalukan hal yang dulu kau lakukan terhadapku, Xel. Avista terlalu lemah dan ringkih, dia tidak masuk dalam definisi wanita yang sekuat itu."

"... Jangan pernah mengulang perbuatan kejammu pada Avista."

"Aku bahkan tidak mengerti, La. Aku harus lakukan apa sekarang?" balas Axel, masih dengan tundukan wajah.

"Axel, aku--"

"Biarkan Axel masuk."

Suara dingin serta menusuk itu menyela ucapan Lola. Axel yang mendengarnya lalu berdiri tegap sambil mengusap wajahnya untuk menghapus bekas-bekas air mata.

"Tapi kak--"

"Biarkan dia masuk, biar dia lihat bagaimana kondisi Avista sekarang," ucap Viona. Yang tadi menyela ucapan Lola juga Viona yang datang dari taman rumah sakit itu bersama Reza, pacarnya.

Bibir Axel mengembang kala mendengar izin yang membolehkan dirinya untuk melihat Avista. Dengan gerakan cepat, Axel menghampiri Viona dan menyambar telapak tangan Viona untuk digenggamnya dan ....

Axel bukan menyalami Viona, tapi salim dengan punggung tangan Viona yang hampir saja menyentuh buah bibir Axel. Namun, segera dicegah oleh Reza.

"Cih, baru diberi izin sudah keterlaluan begini, tak perlu modus begitu, bodoh!" cibir Reza yang menatap sinis ke arahnya.

Axella [PROSES REVISI]Where stories live. Discover now