bag.3

18.2K 657 201
                                    

**

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

**

Avista menyandarkan kepalanya ke jendela, lalu merogoh sling bag untuk mengambil aromaterapi kecil yang selalu dia bawa. "Kau mual?" tebak Axel.

Avista tertawa kecil lagi. "Tidak, tuan. Ini hanya kebiasaanku yang tidak menghilang sejak dulu," jelasnya.

"Oh. Namaku Axel, tidak perlu pakai tuan." Ia memutar setir untuk belok ke kanan sesuai arahan dari Avista tadi.

"Oke, Pak Axel?" ledek Avista.

"Kau membuatku merasa lebih tua, Laurel," sahut Axel setelah mendengar 'Pak Axel' dari bibir Avista.

"Kau memang tua! Biasanya CEO itu tiga puluh tahun ke atas! Ahaha!"

Axel tersentak, ia mengambil tangan Avista yang tidak memegang aromaterapi untuk disentil sekali. "Mulutmu ingin kulahap ya? Aku masih 24 tahun!" marah Axel lalu melepas tangan Avista setelah disentil sekali.

"Kau ini, tanganku jadi-"

Drrrrtttt drrrrrtttt

"Ah, telepon," sergah Avista cepat. Merogoh sling bag lagi untuk mengambil ponselnya. "Dari Xean ...," gumamnya, kemudian langsung menggeser ikon telepon berwarna hijau untuk menjawab panggilan itu.

Axel pun tersentak kembali. "Siapa Xean?" tanyanya. Padahal, Avista tengah mengangkat panggilan itu. Dan benar, tentu saja Avista tak merespons Axel karena ia tengah bicara di ponsel dengan Xean.

"Siapa Xean?" tanyanya lagi. Dan lagi-lagi tak dapat jawaban dari Avista.

Maaf, aku sama sekali tidak menyangka akan jadi begitu pada mobilmu, maaf sayang.

"Tak apa, masalah sepele saja. Aku-"
Axel menggeram serak, kenapa pula suara Xean harus terdengar oleh telinganya. Dia meminggirkan mobilnya ke tepi jalan. "Siapa Xean?!" terkam Axel tak kuat menahan emosinya. Ia segera merebut paksa ponsel Avista lagi. "Dia laki-laki," gumam Axel setelah melihat foto profil dari seorang Xean.

"Siapa Xean?" tanya Axel lagi, matanya penuh intimidasi tajam, sukses membuat Avista terdiam kaku. Benar-benar membuat Avista tak bisa melakukan apa-apa. Kini interogasi Axel menjalar ke seluruh pembuluh darahnya.

"Xean temanku," jawab Avista, suaranya melemah.

"Teman apa?" Belum puas, Axel masih menginginkan jawaban jelas dari Avista. Telepon dari Xean sudah Axel putuskan sepihak.

"Teman semasa universitas, Axel." Avista menunduk, entah mengapa dia harus bertemu pria yang merupakan seorang CEO angkuh dengan penuh intimidasi. Apakah dia lupa bahwa mereka berdua hanyalah seorang orang asing?

Axella [PROSES REVISI]Where stories live. Discover now