bag.12

7.9K 321 50
                                    

Pagi yang cerah, sayangnya tidak secerah pasangan yang saat ini tengah dirundung hening. Ada satu penyesalan dalam diri Avista untuk menemui Axel, jiwa mager gadis itu terus teruji, tidak satu hari pun mereka berdiam di rumah masing-masing. Axel, selalu membawanya ke suatu tempat di setiap pagi.

Perusahaannya sudah menjadi prioritas kedua setelah Axel mengenal Avista. Avista hanya diam selama di dalam mobil Axel. Ntahlah, kenapa situasi menjadi canggung seperti ini, tidak seperti biasa. Yang biasanya Axel menanyai kabarnya, atau apa pun, kali ini tidak ada yang diucapkan Axel. Bahkan tatapan dinginnya menjadi lebih dingin dari biasanya.

Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Hanya flat face yang terukir jelas di wajah tampan Axel. Rahangnya mengeras menandakan Axel sedang meredam emosi. Tunggu, emosi karena apa? Apa Avista membuat kesalahan?

Avista menghela napas berat. Wajahnya dia tundukkan ke bawah. Tangannya meremas blazer coklat miliknya bahkan sampai buku jarinya memutih. Tak lama, Avista merasakan suara decitan rem yang mulus. Mobilnya sudah berhenti dan tak berjalan lagi. Namun, Avista masih setia menundukkan kepalanya.

Keningnya berkerut saat mendengar pintu mobil yang terbuka lalu tertutup. Avista mendongak dan menoleh ke arah Axel. Menoleh ke arah kursi pemudi yang membuat Avista membulatkan matanya. Axel sudah tidak ada di dalam mobil. Kini, Avista hanya sendiri di dalam mobil.

Bola mata Avista lagi-lagi ingin keluar dari tempatnya saat Axel membukakan pintu untuknya dari luar. Avista menoleh ke sekeliling, alisnya kembali berkerut bahkan hampir menyatu. Hari ini,  Axel kembali membawanya  ke sebuah pusat perbelanjaan.

"Hm!"

Avista membuang pandangannya saat mendengar dehaman Axel. Matanya  yang masih menyapu sekeliling, beralih menatap Axel yang menyorotkan aura dingin dan wajah yang masih datar. Tidak ada senyum sedikit pun yang terukir dari wajah tampannya.

Avista keluar dengan tergesa-gesa dari mobil Axel. Dirinya tidak mau mengundang emosi Axel (lagi), walaupun sepertinya emosi Axel sudah di puncaknya sekarang. Wajahnya memang terlihat seperti seorang yang sangat ingin meluapkan amarahnya.

Saat Avista keluar, jari-jari tangannya tidak disambar oleh tangan Axel. Axel tidak seperti biasanya, Avista menghela berat.

Saat ini harusnya Avista menemani Viona berdiam diri di rumah. Ia tengah dalam masa demamnya, tetapi apakah pantas di saat kakaknya sakit, Avista malah bersenang-senang di sebuah pusat perbelanjaan.

“Xel? Kakakku tengah demam di rumah, kurasa belanja tidak terlalu penting, maaf aku menyela dan mungkin ... sedikit membantah, tapi aku memilih untuk kembali pulang ke rumah saja daripada berbelanja lagi." Avista mulai mengeluarkan suara.

"Siapa bilang kau akan berbelanja?" sahut Axel dengan dingin, tatapan Axel seperti sedang mencari sesuatu.

"Lalu? M-mau apa?" tanya Avista, sungguh saat ini dia sangat resah.

"Berisik!" jawab Axel dengan penekanan.

Perasaan Avista sangat gusar, seperti yang kalian tahu Faris dan Syara tidak ada di rumah untuk beberapa hari ke depan. Bukannya sangat kurang ajar jika Avista—adik yang terkenal akan kesempurnaan akhlak—yang sebenarnya tidak sesempurna itu, Avista meninggalkan Viona di rumah?

Kening Avista membentuk sebuah kerutan, dia mengernyit saat melihat wanita dengan kaus sepanjang perut berwarna putih dengan tulisan ‘please bitch! I am a girl’.

Axella [PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang