bag.14

8K 310 72
                                    

Avista meringis, suara isakannya begitu memilukan, sedangkan di samping ada malaikat penenangnya yang kini tengah menjalankan tugasnya. Xean, pria yang tidak memiliki hubungan khusus dengan Avista, hanya sebagai teman dengan perasaan peduli melebihi seorang teman.

Xean, orang yang selama ini diharap-harapkan Avista, tetapi dunianya terasa sangat jauh untuk digapai.

"Seharusnya dia tidak sekasar itu, Xean ... hiks!" isak Avista, ia menekuk kedua kakinya dan memeluknya dengan tangan. Tak peduli dengan jok mobil yang akan kotor karena kakinya naik.

Xean mengelus puncak kepala Avista dengan tenang, entah apa lagi yang bisa ia lakukan untuk menenangkan Avista. Yang pasti, ia tahu betul perasaan Avista saat ini. "Sudah, jangan terlalu lama dipikirkan, Ta. Sedih boleh, tapi jangan lupa buat senyum lagi."

Avista menekuk bibirnya ke bawah, wajahnya seperti anak kecil yang merengek. "Siapa yang tidak sakit hati setelah diperlakukan seperti itu, Xean ...." Napas Avista tersendat-sendat, air matanya tak kunjung surut.

Xean menggeleng prihatin, tangannya mengusap baju Avista dengan lembut. "Seharusnya kau tidak mencintai pria sepertinya, Ta," ucap Xean. Kini ia duduk di samping Avista, mengusap telapak tangan Avista, menarik kepala Avista supaya bersandar di bahunya.

"Aku tahu ..., aku tahu ini salah! Seharusnya dari awal aku tidak berhubungan dengannya, mengapa takdirku jadi begitu buruk? Ini semua karena mobil mogok sialan itu!" cercah Avista, mengomel sambil menangis. Ia mengelap air mata sekaligus ingus yang keluar dari hidungnya dengan tangan yang satunya.

Xean mengernyit, alisnya terangkat satu. "Itu artinya salahku? Seharusnya aku datang menjemputmu saat itu," balas Xean.

Avista hanya menghela berat, tidak merespons perkataan Xean yang telah sadar bahwa ini semua bisa jadi salah Xean yang tidak menjemputnya saat itu.

Tok tok tok!

Jendela mobil mereka terketuk dari depan, pria tinggi dengan rambut sedikit berantakan itu seperti mencoba untuk melihat ke dalam mobil. Xean menghiraukannya setelah tahu siapa itu. Ia memilih untuk memeluk Avista agar gadis itu tidak melihat orang yang mengetuk tadi di luar.

Namun, bukannya Avista menenggelamkan wajahnya di dada Xean, ia malah menempelkan dagunya pada bahu Xean. Jelas, hal itu membuat Avista juga bisa melihat siapa orang itu. "A-Axel ...," lirihnya.

"Bahkan aku sampai berhalusinasi seperti ini, pesona pria itu sangat hebat ya ...." Alea bergumam lagi, sedangkan Xean yang menyadari bahwa Avista melihat itu, segera melepas pelukan mereka.

Xean berdeham. "Hm, Avista sebaiknya berhenti melihat ke jendela, cukup tatap aku kali ini," ucap Xean, mencoba untuk memfokuskan netra Avista padanya. Namun, gagal.

Avista malah fokus dengan gerakan dan ketukan di jendela itu. Ia semakin memperhatikan dan meyakinkan bahwa itu ternyata bukanlah halusinasi. "Axel ... dia di sini."

Avista dengan cepat ingin segera membuka pintu itu, tetapi Xean menahannya. "Aku harus bertemu dengannya, aku harus menyelesaikan masalah ini, aku harus berbaikan dengannya. Xean! Lepaskan aku, aku ingin bicara dengan Axel!!" rengek Avista. Tetapi badannya benar-benar ditahan Xean dengan kuat.

Karena bagaimana pun, tenaga Xean pun pasti lebih besar daripada Avista, ditambah saat ini Avista tengah lemah.

"Hey, buka pintunya!" teriak Axel dari luar, ketukannya di jendela semakin keras.

Axella [PROSES REVISI]Where stories live. Discover now