Chapter 19

914 119 14
                                    

Takut?

Yuri tak tahu maksud surat yang diterimanya itu apa. Saat jam pelajaran terakhir dirinya sukses melamun memikirkan surat yang didapatnya. Meskipun surat itu sudah ia buang, isinya masih berputar di kepalanya.

Rasanya semua badannya lelah dan dia memutuskan setelah bel pulang berbunyi dia langsung pulang agar bisa beristirahat. Dia berjalan melewati koridor-koridor dengan malas. Inginnya sih langsung berada di rumah tanpa harus mengayuh sepedanya. Tapi tak bisa.

"Yuri!"

Cewek itu terkesiap dan mendapati Hueningkai yang tiba-tiba sudah berada di depannya. "Buset dah, ngapain lo?"

"Pulang bareng, yak!" ajaknya menawarkan sambil tersenyum. Wajahnya berseri-seri berharap Yuri mau dengan ajakan sederhananya itu.

"Wani piro?"

"Hah?" Hueningkai melongo mendengar ucapan Yuri yang asing baginya. "Bahasa apaan itu?"

Yuri mengangkat sebelas alisnya, dia baru ingat kalau Hueningkai seorang bule dari Hawai yang terdampar. "Kamal, lo nggak tahu ya itu bahasa mana? Gue kira lo selain bisa bahasa luar, juga tahu bahasa itu, tapi enggak, ya?"

Hueningkai menggeleng dengan polosnya dan Yuri menepuk bahu cowok itu. "Makanya belajar!" serunya lalu pergi.

Cowok itu mengangguk sejenak membenarkan ucapan Yuri, dirinya akan belajar setelah ini. Harus. Dia pun berlari mengejar Yuri yang sudah lebih dulu berjalan. "Terus itu tadi bahasa apaan?" tanyanya lagi saat sudah di samping Yuri.

"Bahasa Jawa," jawab Yuri singkat.

"Terus artinya tadi apaan?"

Yuri menarik napas. Dia sedang tidak merasa baik hari ini tapi Hueningkai selalu saja mengganggunya. Meski begitu Yuri tidak boleh marah dan membanting cowok itu. Kasihan, masih bocah, masa pertumbuhannya sedang berjalan.

Akhirnya dengan malas, Yuri menjawab, "Lo nggak boleh ngikut-ngikut gue, harus jauh-jauh, jadi nggak boleh pulang sama gue, oke."

Yuri berbohong, Hueningkai malah mengangguk tanpa beban dengan dahi berkerut. Dia menatap Yuri. "Perasaan tadi cuma dua kata, deh, tapi artinya banyak gitu, ya? Tapi gue tetep pengen bareng lo."

Yuri berdecak tak suka. "Ngapain sih lo ngikut-ngikut mulu? Capek nih gue."

Bibir Hueningkai mengerucut. "Padahal gue udah ngebela-belain naik sepeda cuma buat bisa pulang bareng lo, Yur," ucapnya.

"'Kan nggak ada yang nyuruh lo, Kamal. Udah lah."

Namun tanpa diduga, tiba-tiba Hueningkai berlutut di hadapan Yuri sambil menangkupkan kedua tangannya—memohon. "Please, Yuri. Gue bakal traktir lo sumpah. Lo mau minta apa aja gue bakal beliin."

Yuri melebarkan matanya sambil menatap Hueningkai yang masih bersimpuh di depannya. "Berdiri lo ah, malu gue dilihatin orang-orang."

"Nggak, sebelum lo nerima gue."

'Ambigu bocah, dikira lamaran kali,' batin Yuri. Dia malu karena banyak anak-anak yang memandangi mereka. Yuri tak masalah jika hanya dipandangi saja, tapi kalau ada yang memfoto, 'kan parah lagi urusannya. Tapi mungkin juga mereka bakal berpikir dua kali untuk mengambil foto mereka. Kalau misalkan ada yang memfotonya, Yuri tak akan tinggal diam buat matahin tulangnya.

"Apaan si, anjiir. Bangun nggak lo!" perintah Yuri tapi Hueningkai hanya diam dan Yuri menghela napasnya. "Iya deh iya, bangun!"

Seketika Hueningkai tersenyum cerah dan kemudian berdiri. "Makasih."

Yuri menatap Hueningkai sinis. Tingkah cowok itu membuatnya harus sabar setengah mati. "Jangan bikin gue malu."

Hueningkai mengangguk dan mengacungkan ibu jarinya ke arah Yuri.

MOIRAWhere stories live. Discover now