Chapter 36

656 113 5
                                    

Jina mondar-mandir di depan ruang inap Yeonjun sambil menggigiti kuku tangannya, sebelah lagi menenteng kantong plastik berisi roti dan susu untuk Yeonjun. Dirinya khawatir, takut, dan grogi. Pokoknya semuanya bercampur jadi satu. Ia bahkan belum berniat membuka pintu di depannya itu setelah hampir sepuluh menit kedatangannya.

Ulangan harian Sosiologinya berjalan lancar meskipun satu kelas harus remidial karena nilai yang menurun drastis kecuali Seungmin, Nara, dan Haechan.

Jina saja tidak percaya-bukan hanya dirinya, anak-anak yang lain pun tidak percaya Haechan tidak ikut remidial. Jina jadi berpikir kalau saja semalam ia bisa belajar, pasti tidak akan remidial.

Tapi bukan karena alasan itu Jina mondar-mandir tidak tenang di depan pintu, bukan karena ulangan harian dan nilai yang menurun, bukan juga karena Beomgyu yang ia tinggal saat sedang mengambil motornya di parkiran-oh itu sudah biasa, melainkan karena pesan WhatsApp, dari ayahnya yang akan pulang.

Ingat itu! Akan pulang!

Aduh, Jina bingung harus bagaimana ini. Masalahnya dia sudah membohongi ayahnya kalau dirinya dan Yeonjun baik-baik saja. Padahal aslinya tidak, Yeonjun hampir sekarat kemarin dan cowok itu masih dalam perawatan di rumah sakit dengan perban yang melingkar di kepala.

Kalau sampai ayahnya pulang ke rumah dan tidak mendapati mereka berdua-atau mungkin malah mendapati Yeonjun yang terluka, Jina tak bisa membayangkan bagaimana reaksi ayahnya nanti.

Ayahnya pasti marah besar kalau dirinya berbohong.

Apa mungkin Jina harus membawa Yeonjun secara paksa keluar dari rumah sakit dan membuka perbannya, menyuruhnya berakting mengganggu Jina di rumah agar ayahnya tidak curiga. Tapi itu konyol, Jina bahkan tak tega jika berbuat seperti itu di saat Yeonjun masih sakit.

Setelah bergulat dengan pikirannya, cewek itu mulai menghela napas dan memegang ganggang pintu. Ingin masuk tapi kegugupan malah menyerangnya. Kenapa sebenarnya dia ini? Yang mau ia temui itu hanya Yeonjun.

Jina mengambil napas lalu menghembuskannya perlahan, berharap itu bisa melegakan jantungnya yang malah berdentum keras.

Akhirnya pintu dibuka dan dia masuk. Matanya memandangi Yeonjun yang malah sedang asik bermain game. Kakak tidak tahu diuntung! Adiknya sedang kebingungan karena ayahnya mau pulang, dia malah main game dan terlihat segar bugar.

Tanpa bisa dicegah lagi, darah Jina naik ke ubun-ubun. "Ini malah main game! Bukannya istirahat supaya bisa pulang!" Cewek itu mendekati ranjang Yeonjun. "Awas aja lo sekarat lagi. Gue nggak peduli!"

Yeonjun mengalihkan pandangannya sejenak, menatap adiknya yang kesal tersebut. Mata sipitnya juga ikutan kesal karena tiba-tiba perih kembali menyerang kepala belakangnya.

"Dih, dateng-dateng ngegas." Setelah itu, Yeonjun kembali kepada game-nya dan tak mempedulikan Jina di sampingnya.

"Tauk, ah. Nih, makan tuh makan sampe keselek, terus mati." Dengan emosi, Jina langsung menjejalkan kantong plastik yang ia bawa ke depan Yeonjun hingga ponsel cowok itu jatuh ke samping, untung saja tidak jatuh ke lantai.

"Astaghfirullah, Akhi," kata Yeonjun, sambil memegangi plastik berisi roti dari Jina.

"Gue cewek!"

"Kenapa, sih, lo? Pms?" tanya Yeonjun sambil membuka roti tersebut, dia lapar, dan roti tawar dengan susu itu enak.

"Kepo!" balas Jina cuek dan langsung mendudukkan diri di kursi samping tempat Yeonjun.

Cowok itu sibuk membuat rotinya sendiri. Jina tak berniat membantu sama sekali sebab kesal. Kakaknya ini tidak bisa diajak serius sekali saja.

MOIRAWhere stories live. Discover now