Prolog

768 83 57
                                    

Azan Ashar berkumandang. Air wudu terasa sejuk membasahi wajah. Membenam hawa panas. Bahkan terlalu panas. Sekarang sudah dingin. Terlampau dingin. Melebihi es yang diperdagangkan di pinggir jalan menuju Panti. Dikey terpejam meresapi segarnya. Bukan tanpa sebab ia melakukan ini hingga lebih dari lima kali dalam sehari. Nyawa hingga sekarang berumur duapuluh tiga bahkan tidak bisa dibayar dengan seluruh harta di dunia. Lucunya, ia memang tidak memiliki harta untuk membayar.

Lantunan ayat suci Al-Qur'an selalu bergema selepasnya selagi menunggu Magrib. Tanpa melepas kopiah dan sarung dari tubuh. Biasanya tidak ada yang berani mengganggu sebelum Dikey benar-benar menuntaskan bacaan hingga banyak lembaran. Kali ini berbeda. Seorang anak kecil laki-laki menarik sarung kotak-kotak berwarna hijau tuanya. Cukup lama. Hingga bacaan Dikey terhenti.

"Kak, Bu Maya manggil. Katanya ada donatur," jelas Adan.

Tidak heran jika ada donatur. Yang membuat heran, apa hubungannya dengan Dikey? "Pak Ilyas belum pulang?"

Adan menggeleng. Sambil cemberut pula. Meski sudah kelas lima dan pintar, tidak jarang sifat manjanya muncul. "Ada pengajian, kata Ibu. Tidak jelas kapan pulangnya. Jadi Kak Dikey yang diminta. Cuma acara syukuran kecil-kecilan, Kak. Ulang tahun organisasi kampus."

Tidak asing. Sudah sering terjadi. Dalam seminggu mungkin dua atau tiga kali donatur datang bergantian. Ulang tahun, syukuran, sekadar membagi limpahan rezeki, juga ramai menjelang hari raya Idul Fitri dan Adha. Dikey mengangguk. Mengembalikan Al-Qur'an ke lemari dekat mimbar. "Masih di ruang tengah? Kenapa tidak langsung ke Mushalla saja?"

Adan memperlambat larinya. Berbalik. Berjalan mundur. Menggidik bahu. "Masih ngobrol sama Ibu. Aku menguping, malah dipanggil. Katanya panggilkan Kak Dikey di Mushalla."

Tidak terlalu banyak. Kurang dari dua puluh orang. Laki-laki dan perempuan. Seumuran dengannya. Organisasi kampus. Kalau saja Dikey kuliah, mungkin seangkatan dengan mereka. Dikey mengucap salam. Bersamaan mereka menyahut. Duduk di samping Ibu Maya. Pemilik Panti yang menjadi rumah Dikey sejak berumur tujuh tahun.

"Kamu gantikan Bapak, ya? Ada pengajian di kampung sebelah." Keterangan yang sama Dikey dapatkan. Bu Maya mengelus punggung Dikey dengan lembut. Mungkin seperti inilah hangatnya elusan sayang seorang Ibu. Entahlah. Dikey lupa bagaimana rasanya.

Memang tidak ada pilihan lain, selain Dikey. Ialah yang tertua di Panti. Ada yang seumuran, tapi perempuan. Tidak mungkin memimpin do'a selagi masih ada laki-laki di sana.

Semuanya dipersilakan berpindah tempat, setelah memastikan bahwa acara syukuran akan berakhir sebelum memasuki waktu Magrib. Musholla tempat Dikey mengaji sebelumnya. Memang, Musholla itu didirikan di halaman panti. Namun jika memasuki waktu sholat, juga akan dipenuhi oleh masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar sana. Acara berlangsung khidmat.

Salah seorang perwakilan berdiri. Memberi sebuah amplop sebagai simbolis. Difoto sebagai dokumentasi. Bukan amplop atau perwakilan yang berdiri, yang berhasil menarik perhatian Dikey. Akan tetapi, gadis yang mengambil dokumentasi. Caranya memakai kerudung sedikit berbeda. Dibiarkan hanya tergeletak begitu saja, tanpa diberi pengait agar menutup leher. Dikey segera menundukkan pandangan.

"Shua, satu kali lagi," pinta perwakilan yang belum Dikey tahu siapa namanya. Berperawakan tinggi, tegap, tampan. "Mas, foto sama Masnya juga, boleh?"

Dikey mengangguk. Segera berdiri. Perwakilan organisasi kampus berada di tengah antara Dikey dan Bu Maya. Menghadap kamera. Memamerkan senyum yang lebar. Bahagia.

"Gadisnya cantik-cantik ya, nak..." Bu Maya menggoda, begitu bus yang mereka tumpangi lenyap dari halaman panti. Membereskan beberapa gelas kosong yang dihidangkan untuk mereka. Septi, penghuni panti yang seumuran dengan Dikey, baru keluar dari kamarnya. Ikut membantu.

"Ibu bicara apa?" Dikey sinis.

Adan tertawa. Tubuh kecilnya merosot jatuh di atas sofa panjang. Rebahan. Memainkan game di ponsel genggam Dikey. Paris dan Rizal berhimpitan berebut tempat untuk menonton. Ikut ribut begitu musuh mulai mengepung. Berteriak. Berseru. Memberi semangat pada Adan Seakan pertarungan ada di hadapan. Terjadi secara nyata.

Memang ponsel murah. Game yang mereka mainkan pun offline agar tidak memakan banyak kuota. Tapi Dikey bersyukur ponsel itu bisa menyambungkan komunikasinya dengan teman semasa sekolah hingga sekarang. Ponsel genggam hasil kerja kerasnya selama beberapa bulan, sejak membuka tempat percetakan kecil-kecilan di pinggir kota. Dekat dengan beberapa sekolah sekaligus. Menyasar murid-murid di sana.

"Tapi sayang, ada tidak memakai kerudung. Padahal dia yang paling cantik," Bu Maya terus berkomentar. Mengelap air teh yang tercecer di lantai. Sesekali mengomeli yang kecil. Mandi duluan. Supaya tidak berebut menjelang Magrib nanti. Hanya ada tiga kamar mandi untuk seluruh menghuni panti.

Dikey tidak terlalu mendengarkan lagi. Menoleh ke halaman, langit telah berubah warna. Langit senja. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Rasa syukur Dikey panjatkan dalam hati. Hari ini telah dijalaninya dengan sebaik mungkin. Berharap masih ada hari esok, untuk kehidupan yang jauh lebih baik lagi nantinya.

Tiba-tiba Adan berteriak. Kalah dalam permainan. Kesal. Menjerit. Keluar dari aplikasi. Mengembalikan ponsel genggam Dikey dengan wajah marah. Paris dan Rizal ikut bubar. Lomba lari ke kamar mandi. "Maksud Ibu, Kakak yang memegang kamera tadi? Dia Nonmuslim, Bu. Aku lihat kalungnya."

Cinta di Ufuk Barat
03.12.2019
tirameashu

Cinta di Ufuk Barat (✓)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant