1. Kenang Temu Senja

454 71 63
                                    

Di umur duapuluh tiga, semua remaja pasti memiliki harapan tersendiri. Ingin sudah mapan, sudah menikah, sudah mengantongi sarjana, sudah menggapai kebahagiaan masing-masing. Dalam skala besar, berada di posisi tertinggi mungkin saja bisa diraih seseorang di umur duapuluh tiga. Namun, tidak sedikit pula dari mereka semua malah merasa cukup puas dengan skala yang lebih kecil. Sebenarnya tidak. Tapi keadaan memaksanya demikian. Dikey contohnya.

Sebagai yatim piatu, Dikey tidak bisa menaruh harap dalam skala besar. Cukup yang kecil, lalu menjadikannya sebagai sebuah alasan kenapa ia terus mengucap syukur. Setiap hari. Dari pagi hingga bertemu pagi lagi. Kebahagiaannya pun terbilang sederhana. Melupakan kejadian apa yang membuatnya berstatus sebagai salah satu penghuni Panti.

Berangkat pada jam sepuluh, usai melaksanakan salat sunah duha. Dikey mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Matahari sudah meninggi. Membakar kulit yang sejak awal memang sudah berwarna cokelat. Terburu-buru membuat ia lupa memakai jaket. Kebiasaan. Saat Dikey berangkat, Bu Maya dan Septi memang belum pulang dari pasar. Jadi tidak ada yang dengan suka rela mengingatkannya memakai jaket. Dikey menambah sedikit kecepatan sepeda motornya. Setidaknya agar Bu Maya tidak mengomel karena kulit Dikey semakin gelap, juga tidak membuat Septi mengamuk dengan alasannya yang kurang jelas.

Seperti orangtua pada umumnya, Bu Maya dan Pak Ilyas memperlakukan seluruh anak panti seperti anak kandung mereka sendiri. Memberi banyak petuah, mengajarkan mana yang baik, membagi kasih sayang dan kebahagiaan, dan memberi tempat ternyaman untuk bernaung. Cukup di situ. Selebihnya, mereka tidak berani menjamin masa depan. Namun selagi mampu, mereka akan memberi pendidikan yang layak untuk seluruh anak.

Dikey bersyukur dipertemukan dengan keduanya. Masa menakutkan sewaktu ditinggal dulu perlahan terkikis. Meski tentu, tidak bisa benar-benar dilupakan.

Masih sepi. Biasanya akan mulai ramai usai salat zuhur hingga menjelang ashar. Saat kegiatan SMP dan SMA telah berakhir. Baru buka seperti sekarang ini, biasanya hanya terdapat beberapa orang anak sekolahan yang datang. Mencuri kesempatan mencetak hasil tugasnya di sela-sela jam pelajaran. Jumlahnya pun bisa dihitung dengan jari. Waktu yang ada Dikey manfaatkan untuk mengerjakan hal lain. Ada yang memesan undangan. Tiga ratus, untuk diambil minggu depan.

Percetakan kecil pinggir kota. Meskipun begitu, tergolong lengkap jasa yang ditawarkan. Print tugas, scan dokumen, foto beserta editing, undangan, kalender, dan yang lainnya. Kemampuan yang ia terima semasa berada di bangku SMK telah dimanfaatkan sebaik mungkin. Berbekal modal yang diberikan Pak Ilyas, kurang dari tiga tahun kemudian Dikey berhasil melunasi cicilan modal tersebut. Dan sejak saat itu, Dikey merasa bahwa dirinya telah benar-benar tumbuh menjadi seorang laki-laki. Pencapaian skala kecil bagi orang lain. Skala besar bagi Dikey.

"Perlu diedit lagi?" tanya Dikey. Perempuan yang nampaknya berstatus sebagai seorang mahasiswi telah duduk di sampingnya. Di depan sebuah komputer yang sudah menemaninya sejak pertama kali buka usaha. Dan, dugaan Dikey sebelumnya benar. Logo salah satu Universitas ternama menyambutnya, begitu file tugas yang diserahkan telah terbuka.

Mahasiswi berkerudung hitam itu menggeleng pelan. Nampak canggung. Enggan berkomentar banyak. Akan tetapi, matanya terus memperhatikan ke arah mana Dikey beranjak. Mengambil kertas tambahan. Dimasukkan ke dalam printer. "Tidak usah, Mas. Langsung print saja."

"Berwarna?" tanya Dikey lagi. Menoleh. Gadis itu tersenyum dengan ramah. Lesung pipinya menjadi pemanis kesan pertama.

"Hmm..." Mata si gadis melirik daftar harga yang tertempelkan di dinding. Tepat di samping kertas peringatan tidak terima edit surat resmi. Tercetak besar dengan huruf kapital berwarna merah. Melirik jumlah halaman tugasnya pula di komputer. Mempertimbangkan. Tertawa canggung. "Hitam putih saja. Takut ongkos pulang nanti kurang."

Cinta di Ufuk Barat (✓)Where stories live. Discover now