2. Ruang Yang Salah

379 62 48
                                    

Semakin siang, semakin terik pula sengatan matahari. Harusnya seperti itu. Tapi tidak kali ini. Tidak juga untuk beberapa hari ke belakang. Entah bagaimana besok, besok lagi, atau besoknya lagi. Shua bukan peramal. Mengandalkan laporan cuaca di ponsel genggam baginya sudah lebih dari cukup. Menyiapkan jas hujan dan jaket tebal jika terdapat gambar awan berwarna abu.

Kini kaca mobilnya telah dipenuhi oleh rintikan hujan. Shua mengeluh. Jalanan semakin macet. Menggunakan alat transportasi beroda empat ini pun terpaksa. Tidak suka menjadi salah satu pelaku penambah macet jalanan. Lebih suka sepeda motor, atau kadang dijemput oleh teman yang menawarkan jasa secara suka rela dengan maksud terselubung.

Kalau diingat-ingat, Shua pasti gagal mengingat. Kapan terakhir kali matahari bersinar terik? Beberapa hari lalu, yang pasti. Hari tepatnya sama sekali samar. Jangan dipaksa, atau Shua bakal terlihat seperti gadis bodoh. Lupa ingatan.

Melihat amplop cokelat di dasbor mobil, Shua menjentikkan jari. Ingat sudah. Terakhir kali matahari menyengat kulitnya adalah saat pertemuan pertama dengan Dikey setelah perpisahan senja di Panti. Entah kenapa Shua sulit melupakan momen itu.

Jam sepuluh. Jam padat kampus. Shua melajukan langkahnya begitu keluar dari mobil. Hampir saja menyembunyikan kepala dari rintik hujan di balik amplop berwarna cokelat. Ingat isinya, Shua mengalah. Lebih baik kepalanya yang basah, daripada foto yang ada di dalamnya. Bakal kena marah? Tidak. Shua adalah senior di organisasinya. Hanya tidak mau dianggap tidak profesional.

Sudah berada di semester akhir, bukan lagi ruang kelas yang Shua datangi. Biasanya hanya sekitaran tiga tempat, membuat teman-temannya tidak pernah kesulitan lagi jika mencari. Perpustakaan, ruang organisasi, dan ruang dosen pembimbing. Jadwal bimbingan besok, revisi pun sudah selesai ia urus. Siap konsultasi besok. Datang ke kampus hari ini hanya untuk mengurus organisasi yang pernah diikuti. Aktif hingga sekarang, namun intensitasnya jauh lebih dikurangi. Hanya anggota biasa. Tidak mau mengambil risiko dan membuat skripsinya keteteran.

Alzuno Riyadi, akrab dipanggil Jun, si ketua tahun ini, menyambut kedatangan Shua. Hanya dengan senyuman. Memberi ruang kosong. Menepikan tas dari sisi kirinya. "Kak Shua tidak konsul?"

Terdengar helaan napas kelelahan. Memberikan map cokelat tadi pada Jun. Mengambil air mineral kemasan gelas. Melahap setengahnya dalam satu kali hisap. Lega rasanya. "Tidak. Rencananya besok," kata Shua. Mata mengitari sekitar. Jun duduk santai di depan laptop. Menyiapkan beberapa berkas persiapan lomba bulan depan. Mengintip ke belakang, ada Kwan dan Vernon. Duduk di lantai terlalu dekat. Seperti saling menempel seperti cicak. "Kalian cuma bertiga? Di mana Hanny?"

"Biasa..." Kwan ikut menyahut. Menepikan kertas double polio bergaris. Diberikan pada Vernon. Bergantian menyalin. Jurus the power of kepepet selalu berhasil. Shua berani bertaruh. Tugas itu pasti dikumpulkan hari ini.

Hanya digambarkan oleh kata biasa, Shua sudah bisa mengerti dengan apa yang tengah dilakukan oleh sahabatnya itu. Bersama kekasihnya. Pasti. Tidak mungkin salah. Iri? Tidak. Shua hanya tidak habis pikir. Bagaimana bisa mereka saling membucinkan satu sama lain? Hanya belum, Hanny mencari pembelaan. Paling sebentar lagi. Cheol ikut mengangguki. Membuat Shua merinding.

"Ini Kak Shua sendiri yang edit fotonya?" tanya Jun. Terkesima dalam sekali pandang. "Kemaren masih buram. Karena mengambil fotonya di dalam Mushalla, hampir senja. Sudah gelap mau Magrib. Sampai-sampai wajah Kak Cheol hilang. Hasil editnya natural sekali. Keren..."

Spontan Shua tertawa. Bahkan Nicheol sempat menjadi bahan candaan karena wajahnya seperti menghilang dari gambar. Tukang maksiat, makanya Allah tidak terima rumahnya didatangi Cheol, Hanny puas mengatai. Sungguh berbeda dengan dua orang perwakilan panti yang masih terlihat cukup jelas. Bahkan terbilang cerah. "Bukan aku. Itu Dikey loh yang edit. Tidak sengaja. Ternyata percetakan yang aku datangi kemarin itu punyanya dia."

Cinta di Ufuk Barat (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang