Quarter Life Crisis

153 1 0
                                    


Waktu tepat pukul empat sore, salah satu kedai kopi di pinggiran ibu kota masih sepi pengunjung. Terlihat para pelayan baru saja menurunkan bangku-bangku untuk di tata. Barista sibuk menyiapkan berbagai jenis kopi dan peralatan tempurnya, untuk segera membuat kopi, yang kata orang memiliki aroma istimewa.

lonceng bel yang di sematkan di atas pintu kedai berbunyi. Pelanggan pertama datang. seorang lelaki memakai kemeja flanel, celana jeans, sepatu casual, kacamata bening, serta rambut yang terlihat baru di potong undercut, seperti Brad Pitt di film Fury. Lelaki itu menenteng tas berisikan laptop, yang segera ia taruh sesampainya di meja.

"satu Moccacino, seperti biasa ya." Kata lelaki itu kepada Barista.

"siap mas, Moccacino es. Nggak terlalu manis kan?" kata si Barista. Dengan nada sangat akrab. Lelaki itu mengangkat ibu jarinya, tanda setuju.

Lelaki berpenampilan rambut Brad Pitt itu bernama Bimo. Ia adalah pelanggan tetap kedai kopi itu. setiap dua hari sekali, pukul empat sore. Ia selalu datang kesana. Sekedar menyesap kopi, sembari menggunakan wifi untuk berselancar ke berbagai web sana-sini. Ataupun berbincang bersama satu, dua temannya.

Ini merupakan sore yang kesekian kalinya ia kesana. Tak ada yang istimewa di hari ini. Perasaannya sama gelisahnya dari hari-hari sebelumnya. Sudah satu tahun sejak lelaki itu lulus kuliah, ia belum mendapat pekerjaan yang layak. Bimo merupakan sarjana Design Komunikasi Visual. Ia lulus dengan nilai tertinggi di jurusannya. Secara teknis, tak sulit untuknya mencari kerja. Namun, lelaki itu hingga kini belum mendapatkan pekerjaan yang di inginkan.

Rencananya sejak kuliah, adalah bekerja di perusahaan ternama milik negara. Di samping kesejateraannya cukup terjamin, ia juga dapat berkarya lebih untuk negerinya.

Tak berselang lama minumannya datang, ia masih sibuk membuka web yang berisikan lowongan kerja. Tiba-tiba, pintu kedai kembali terbuka. Sesosok gadis masuk. Bimo yang masih melihat layar laptop, melirik ke arah pintu itu terbuka. Ia seperti melihat sosok yang tak asing baginya.

"Silvia," panggil lelaki itu dengan mengangkat tangan kanannya. Kini pandangannya penuh kearah gadis itu.

Gadis itu menoleh ke arahnya. "Bimo, kamu Bimo kan?" tanyanya.

"iya Sil, masih ingat ternyata," ujar lelaki itu.

"iya masih lah, kamu kan yang dulu pernah ngasih bunga waktu SMP," candanya.

"ah kejadian itu. udah jangan di inget-inget lagi."

Gadis itu duduk di depannya. mengobrol banyak hal. Seperti obrolan orang-orang yang sudah tak bertemu lama.

Silvia adalah perempuan yang Bimo taksir dari jaman mereka masih SMP. Waktu sekolah dulu Iya pernah memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya di depan kelas dengan memberikan bunga pada Silvia. Tentu saja Silvia menolaknya. Silvia merupakan seorang yang tekun, iya salah satu murid terpandai di kelasnya, kelebihan lainnya ia juga merupakan murid tercantik. Tentu Bimo naksir kepadanya. Namun, bagi anak seumuran Silvia, ia tak sempat berpikiran untuk pacaran. yang banyak orang sebut cinta monyet.

"Kamu apa kabar?" Tanya Silvia.

"Baik kok, kamu sendiri?"

"iya aku baik juga kok bim." Jawabnya.

Obrolan merambat kemana-mana. Mulai dari cerita-cerita nostalgia sekolah. hingga pasca lulus SMA. Ternyata, Silvia sudah bekerja di salah satu Bank di kotanya sebagai staff HRD.

"eh kamu sekarang sama siapa?"

"ini lagi sama kamu." Jawab Bimo.

"ih, maksudnya sekarang kamu pacaran sama siapa Bim? Atau jangan-jangan udah nikah, beranak dua?" candanya. Karena ia tidak puas dengan jawaban Bimo.

MomentumWhere stories live. Discover now