Dunia Senja

26 0 0
                                    


aku mengemas barang-barang. Beberapa ada yang ku tinggalkan, di sebuah bangunan yang belakangan ini ku sebut rumah. membawa barang seperlunya. Jaket lusuh, kemeja hitam dan jeans membalut tubuhku. Setelah semua barang-barang keperluanku sudah siap, segera aku bergegas keluar dari rumah bercat oranye itu. Hari ini aku akan meninggalkan kota ini untuk sementara waktu. kota yang bernama, Senja. Ya kota Senja. Kedengarannya menarik bukan? Melihat langit merah yang terbentang luas, bercumbu dengan awan yang mulai memudar oleh waktu, di batas cakrawala paling jauh dari pandangan. Menikmati udara sejuk yang lewat melalui sela-sela porimu. Merelaksasikan otak juga hatimu, singkat kata menenangkan.

Namun, semua itu kini memuakkan bagiku. Kota Senja adalah kota yang memiliki tradisi dimana setiap orang di wajibkan untuk melihat senja kala sore hari. Lebih tepatnya lagi di paksa melihat senja. Kota ini adalah kota terpencil di pinggiran pantai yang kotor. Gedung-gedung bertingkat menjulang dari kejauhan. Pemerintah kota Sebelah melarang kami untuk sekali saja melewati perbatasan. Kota itu di penuhi oleh hutan-hutan beton dan pencakar langit. Mereka melarang kami untuk melewatinya, karena takut terkontaminasi oleh orang-orang seperti kami di kota Senja. Ya, memang kontras dengan kondisi kota kami yang banyak sampah dimana-mana. Bangunan rumah yang sudah kusam akibat cat yang sudah banyak terkelupas. Bangunan yang paling tinggi di kota kami hanya menara sutet.

Mata pencaharian orang-orang di kota kami adalah nelayan. Hanya itu pekerjaan yang dapat kami lakukan. Pendidikan di kota kami juga kurang perhatian, karena di kota kami tidak ada perguruan tinggi, dan setiap warga kota Senja yang ingin menjadi guru harus pergi ke kota Sebelah untuk menuntut ilmu disana. pemerintah kota Sebelah mengizinkan kami untuk menuntut ilmu disana dengan syarat harus memberikan upeti yang besar kepada mereka. upetinya setara dengan mobil Alpard jika di kotamu tinggal. Harga yang sangat besar untuk menjadi seseorang yang mengemban tugas mulia.

Mirisnya pendidikan anak-anak di kota kami membuat tak ada ruang bagi kami untuk bisa maju. Selain pendidikan, kesehatan juga menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kami. di kota ini hanya ada beberapa klinik dan perawat saja. Apabila ada seseorang yang terlampau sakit terlalu keras, mereka lebih memilih mati dari pada harus pergi ke kota Sebelah untuk berobat yang terlampau mahalnya. Akibatnya warga lebih memilih berobat ke ahli spiritual. Disini warga lebih percaya hal itu ketimbang ilmu medis. Tak ada lagi jalan keluar. Kami harus sehat, alasan rasional tidak berguna bagi orang-orang yang katanya sudah tidak mempunyai pilihan.

Lagi pula memang benar. Warga yang katanya kelas dua seperti kami ini mana punya pilihan lain? orang-orang di kota Sebelah yang hidupnya terlahir kaya, berkecukupan dan bangsawan punya opsi pilihan yang lebih banyak. Mereka lebih bisa memilih ingin jadi apa di kota ini. Mengenyam pendidikan tinggi, meraih cita-cita atau profesi yang diimpikan, berbahagia bersama pasangan yang di idam-idamkan. dan jikalau mereka menemukan kegagalan, itu pun hanya sebuah pembelajaran bagi mereka. nyatanya di belakang banyak yang membantu ia untuk naik ke atas dan akhirnya juga apa yang mereka mau akan tercapai, asalkan mereka konsisten. Lalu bagi kami orang-orang di kota Senja yang katanya kelas dua, kami tak punya pilihan lain selain menjadi pekerja kasar. Mati-matian berjuang setiap hari untuk mendapatkan hasil yang hanya cukup dipakai makan tiga kali sehari. Kami tak pernah di izinkan untuk mempunyai mimpi, sudah bisa hidup saja sudah lebih dari baik. Dan ketika kami gagal dalam usaha menggapai mimpi atau cita-cita, itu adalah sebuah resiko bahwa kami adalah orang yang keras kepala. Tak ada yang namanya ibu peri atau lampu jin yang dapat membantu kami ketika kami kesusahan. Ketika kami terjatuh ataupun gagal, itu sama saja kami terjun bebas tanpa parasut. Kenyataannya dua, kau tak dapat mencapai apa yang kau mau. Dan yang kedua mati. Tak ada pahlawan yang siap membantumu seperti yang ada di film-film aksi.

Hal tersebut menyebabkan warga kota senja menjadi depresi. Banyak kasus-kasus bunuh diri. Kejahatan dimana-mana. Akhirnya pemerintah kota Senja membuat sebuah teori yang entah darimana datangnya. Warga di seluruh kota Senja harus melihat senja setiap harinya. Katanya, jika kita melihat senja dan menikmati kopi, Jiwa dan hati kita menjadi tenang. Otomatis kesehatan warga juga akan semakin baik. Itulah yang di katakan oleh pemerintah kota Senja. biasanya jika pemerintah kota Senja sudah mengeluarkan sebuah himbauan, biasanya ada sangkut pautnya dengan kota Sebelah. Setidaknya aku baru mencurigai, belum sampai menyimpulkan.

Matahari tenggelam di kota Senja adalah yang terbaik. Karena terletak di pinggir pantai. Mentari terbenam lebih leluasa menampakkan tariannya bersama dengan awan. Pandangan mata di manjakannya. Mereka tak henti-hentinya bercengkrama di atas langit yang kian memudar. Tak terasa langkahku kini melewati pantai itu. aku sejenak duduk dan melihat di batu-batuan di pinggir pantai, lagipula ini sudah sekitar jam setengah lima sore. Langit itu mulai menguning. Ya, langit indah yang kutatap sama seperti yang ada di ingatanku selama ini. Tapi, tunggu dulu. Tak berselang lama. Bau sampah mulai menyerang hidungku. Suara-suara desir angin dan pepohonan yang saling menghasilkan simfoni indah itu kini mulai pudar. Di gantikan dengan suara-suara motor. Ternyata, orang-orang berbondong-bondong melihat senja. Ramai menyanyikan lagu, membawa anak-anaknya. warung-warung kopi dan jajanan bertebaran di pinggir-pinggir jalan. Mirip seperti pasar malam.

Astaga, kurasakan senja tak lagi sama. Senja kini menjadi barang murah. Senja seperti permen lollipop yang dijajakan di warung-warung. Aku tak ingin melihatnya. Bukan senja seperti ini yang ada di ingatanku. Dan aku pun tak ingin lanjut untuk melihatnya. Aku tak ingin ingatan indahku tentang senja digantikan oleh pemandangan yang kurasa berlawanan dengan ingatanku selama ini.

Sesaat aku teringat, alasanku keluar dan memulai semua ini adalah untuk bertemu seseorang di pelabuhan. Namanya pak Midji, ia adalah kenalan orang tuaku yang telah meninggal sedari satu tahun yang lalu. Beliau datang kerumahku dan dengan senang hati mengajakku untuk berlayar ke kota Seberang agar aku dapat melihat dunia baru. Katanya ia ingin membalas budi orang tuaku di masa lalu dengan mengajakku pergi ke dunia yang belum pernah aku lihat sebelumnya di kota Senja. Setidaknya itu yang ada di pikirannya, walaupun aku sendiri tidak percaya tentang hal itu.

Tanganku segera merogoh saku celana untuk menghubungi orang tersebut, karena posisiku sudah dekat dengan pelabuhan. Ponselku segera ku tarik dari saku celana kiri. Sebuah kertas ikut tertarik keluar dan jatuh ke tanah. Sebuah foto, aku lupa jika aku menaruh benda itu sudah lama di saku celana. Karena aku juga malas untuk mencuci jeans yang aku kenakan. Karena menurut pengalamanku, jeans yang sering di cuci akan menjadi tipis dan mudah robek. Aku melihat foto itu. dua orang yang sedang duduk berdekatan, lokasinya di sebuah rumah makan. Astaga, ini fotoku dengan Grandis. Seorang wanita yang kusebut cinta pertama. Kami rencana akan melangsungkan pertunangan. Namun di hari yang telah di tentukan, ia tak hadir. Seminggu kemudian, aku terkejut. Ia menemuiku dengan kekasih barunya dari kota Sebelah. Katanya hidupku kurang berkecukupan. Ia tak ingin menyusahkanku, katanya. Ia bilang aku adalah seseorang yang baik, ia percaya aku akan menemukan seseorang yang baik pula. Mereka pergi begitu saja, setelah membantai habis semestaku yang ku bangun dengan impian-impian hidup bersamanya. Mereka pergi tanpa mendengarkan hati kecilku berbicara.

Ah, persetan dengan alasan aku terlalu baik. Jika aku baik kenapa ia tidak bersamaku dan memilih laki-laki lain. laki-laki itu perokok, terlihat dari bibirnya dan nafasnya ketika berbicara. Sedangkan aku, seumur hidup aku belum pernah memegang benda itu. ia mungkin terlihat dewasa, tapi ayolah kita sama-sama laki-laki. Aku tahu kebiasaan kita bagaimana. Aku tahu tak ada satupun dari kita yang benar-benar bisa dewasa. yang ada hanya adalah berpura-pura, agar kita di pilih oleh pasangan kita. Yang katanya lebih berkarisma. dan maaf aku tak bisa berpura-pura seperti itu. aku kembali berpikir ulang, apa benar wanita menginginkan seorang pasangan yang baik? Yang aku simpulkan. Baik dapat di bentuk seiring berjalannya waktu, yang penting karismatik dan berkecukupan. Itu yang utama.

Ah, sudahlah. Pikiranku mulai kacau. Foto itu ku remas hingga menjadi bola kertas. Ku buang ke tempat sampah. Aku segera ke pelabuhan. Bertemu dengan pak Midji. Tak berselang lama, kapal itu mulai berlayar. Pandanganku kini menatap hamparan air yang sangat luas. Tak terbatas, sejauh mata memandang. Aku belum pernah menginjakkan kaki di atas kapal dan berlayar seperti ini. Angin laut menggerayangi tiap ruas tubuhku. Rambutku terhempas bebas. Jiwaku seperti menemukan tempat baru untuk pulang. "bagus kan? Kamu akan menemukan banyak sesuatu yang menganggumkan nanti. dan orang tuamu ingin, dunia itu yang kau lihat. Bukan dunia yang kau tempati selama ini. Ayahmu adalah pelayar yang hebat. Bukan orang tangguh yang tidak pernah jatuh. Jatuh adalah persoalan wajar dalam berjuang. Namun satu yang aku tak pernah lupa. Ia tak pernah menyerah dalam hidupnya," kata pak Widji.

Ayah selama hidup tak pernah bercerita apapun. namun, dari cerita pak Widji di kapal. Aku banyak belajar sesuatu dari Almarhum Ayah. Kulihat sejenak kebelakang. Kota senja semakin mengecil. Aku kini berpikir. Mungkin saja dunia yang selama ini aku tempati memang terlalu senja. Akunya saja yang terlalu berpikiran sempit, menyimpulkan bahwa tempat itu adalah rumah. Aku harus berlayar untuk menemukan pagi dan rumah yang ku impikan. Meninggalkan kota Senja. Meninggalkan cinta pertamaku, Grandis. Ku tinggalkan semua itu. sejak aku angkat kaki dari pantai tadi. aku menatap kembali ke laut. Aku siap.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 16, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MomentumWhere stories live. Discover now