Ayana- 1

4.7K 148 20
                                    

4.30

Di pagi buta ini aku memang harus sudah bangun. Hanya untuk menyiapkan segala keperluan untuk majikanku, Marsha. Sebelum aku mandi dan sekadar merapihkan rambutku, aku lebih memilih untuk menyiapkan keperluan milik Marsha terlebih dahulu.

Dengan perlahan, aku membuka kamar Marsha pelan tanpa menimbulkan suara. Kamar Marsha ini tiga kali lipat besar kamarku. Bahkan di dalamnya terdapat bioskop kecil yang sering ia gunakan untuk menonton film dengan teman-teman sosialitanya.

Perlu kalian tahu ketika pertama kali membuka kamar Marsha bukanlah ranjang yang diisi untuk tidur, melainkan ruangan khusus untuk pakian-pakian beragam yang tak terhitung jumlahnya.

Aku segera mengambil pakaian seragamnya untuk hari kamis. Aku juga menyiapkan buku pelajaran untuknya. Untuk laptopnya? Tentu saja sudah aku simpan rapih di atas meja belajar Marsha. Dan untuk seragam? Sudah aku gantung di kamar mandi miliknya.

Namaku, Ayana Pyhtaloka. Aku adalah anak dari seorang ketua pelayan di rumah ini. Ya! Di keluarga Houten. Meski pun aku adalah anak dari pelayan, aku tidak pernah minder karenanya. Justru aku sangat bersyukur memiliki ibu sepertinya.

Sekarang persiapan untuk, Marsha sudah tersedia. Tinggal persiapan untuku saja yang belum tersedia.

Aku bergegas masuk ke kamar mandi untuk mandi. Air di pagi ini cukup dingin. Setelah mandi, aku segera mengenakan seragam sekolahku dan berias diri di depan cermin yang berada di dalam kamarku.

Bukan mengenakan make up tebal, tapi aku hanya mengikat rambutku supaya terlihat rapih. Ya ... meski hanya polesan lipstick berwarna merah pucat itu sudah cukup untuk bibirku. Karena aku tidak ingin terlihat seperti badut berjalan hanya karena penampilanku yang berlebihan.

6.45

Sekarang aku harus segera bergegas pergi ke sekolahku dan menaiki angkutan umum yang selalu berlalu-lalang di depan rumah keluarga Houten. Karena rumah ini berada di pinggir jalan dan sangat strategis.

Ketika aku keluar dari gerbang, seperti biasa angkutan umum sudah berderet panjang hanya untuk mengantre. Aku tidak tahu kenapa mereka sangat tahu jadwalku berangkat dan pulang. Tidak enak jadinya seperti diawasi.

"Naik di sini, Neng!" kata salah satu amang angkot yang masih muda.

"Sini aja, Neng!" kata supir di belakangnya.

Aduh ... kalau sudah seperti ini aku jadi bingung. Rutinitasku sudah seperti ini setiap hari. Melihat para supir itu memperebutkanku itu tindakan yang tidak elit, bukan?

"Mang, ayo cepetan berangkat! Nanti saya telat kerja!" maki salah satu penumpang yang berada di salah satu angkutan umum.

"Iya Neng. Sebentar atuh! Kan ini lagi nungguin bidadari."

Aku yang melihat perdebatan kecil itu hanya bisa geleng-geleng dan tertawa. Aku melihat sekitar lalu menemukan salah satu kakek tua yang sedang menyupir angkutan umum dengan santai. Dia tidak ikut mengantre dengan para supir lain. Karena itulah aku memutuskan untuk naik yang itu saja.

"Maaf semuanya! Sepertinya, aku ingin menaiki angkutan umum yang itu saja." Aku menunjuk angkutan umum yang berada di sebrang. Nampak jelas kekecewaan terukir di wajah mereka. Namun aku tidak mau menyebabkan keributan di pagi hari.

Aku pun menyebrang dan duduk di depan samping pak supir. Karena aku tahu, apa yang akan terjadi jika aku sampai duduk di belakang.

Benar saja, ketika aku duduk di samping pak supir, para pejalan kaki yang sedang berjalan tiba-tiba berbondong-bondong memasuki angkutan umum ini. Hingga jumalahnya sangat padat. Semua berdesakan saling berebut hanya untuk naik angkutan umum ini. Aku hanya bisa tersenyum kesal melihat tingkah laku mereka.

Terlalu Cantik vs Terlalu Jelek [END]Where stories live. Discover now