Ayana- 18

642 29 1
                                    

Hancur, remuk, dan ... pasrah. Ya. Itulah yang aku rasakan kala ini. Moodku  sudah hilang. Aku memilih untuk pulang dan tidak melakukan perjalanan bisnis.

Jimmy terpaksa mengantarku, dan mengakhiri perjalanan bisnis. Ia nampak bersalah karena aku. Tapi, nyatanya tidak. Aku tidak hancur oleh Jimmy, dari awal ini semua memang salahku. Jika aku tidak menyembunyikan ini semua dari Marsha, mungkin kami tidak akan bermusuhan karena laki-laki.

Keheningan begitu memikat di dalam mobil. Hanya suara lagu yang mampu mencairkan suasana. Aku tidak mau berkata, begitu pun dengan Jimmy.

Jimmy memarkirkan mobil di depan rumah Marsha.

"Kenapa kamu menurunkanku di sini? Bukankah kamu sudah tahu, aku sedang bertengkar dengannya?!"

Jimmy nampak kelimpungan dan merasa bersalah. "M-maaf bukan maksudku. Kalau begitu, ayo aku antar ke apartemenmu."

"Tidak!" kataku tegas. "Antar aku ke alamat ini, aku ingin pulang ke rumah ibu dan bertemu dengan adikku."

Jimmy pun melihat alamat yang aku berikan. Dengan cepat ia melajukan mobilnya, mengantarku ke alamat yang aku berikan.

Kami sampai di rumah yang tidak begitu besar. Ya, itu rumahku. Meski tidak besar, rumahku memiliki halaman yang cukup luas untuk menanam buah-buahan.

Ketika aku membuka gerbang rumah, adikku Natali langsung menyambutku. Sebenarnya ia bukan adik kandungku, namun dia anak bibiku. Ayahnya meninggalkannya, sementara bibiku meninggal. Ya, jadi kami yang merawatnya.

"Kakak! Sudah pulang?" teriak Natali begitu Ayana datang. Dengan cepat, jari mungilnya menghamburkan pelukan pada Ayana.

"Iya, Kakak sudah pulang," jawab Ayana sembari mensejajarkan tubuhnya dengan anak usia lima tahunan itu. "Kamu sedang apa? Kenapa tanganmu kotor?"

"Aku sedang bermain masak-masakan. Apakah Kakak mau bermain bersamaku?" tanyanya polos. "Dan ... siapa Kakak yang satu ini?" tanyanya lagi sembari menatap Jimmy. Kepalanya menengadah karena tubuh Jimmy cukup tinggi.

"Ah ... perkenalkan. Aku, Jimmy. Aku kakak iparmu," katanya sembari tersenyum mengejek.

Aku pun mencubit kakinya dan memelototi Jimmy.

"Benarkah? Apakah Kakak mau membelikanku mainan?"

"Natali! Ingat yang diajarkan Kakak padamu?"

"Maaf ...," ucap Natali sembari menunduk.

Tak disangka, Jimmy menggendong Natali. "Kakak akan memberikan apa pun yang kau inginkan. Ayo! Suruh kakakmu yang ini  bergegas!" perintahnya, menunjuk ke arahku.

"Yeay!" teriak Natali bersemangat. "Kakak, ayo! Kita pergi bermain!" Natali begitu bersemangat memaksaku untuk ikut.

Belum sempat aku mengeluarkan barang dari dalam mobil Jimmy, aku sudah naik lagi mobilnya. Demi Natali, akan kubuat dia senang. Tak akan kubiarkan hidupnya menderita sepertiku, hidup di bawah telapak tangan orang lain.

👑👑👑

Kami sampai di tempat bermain anak-anak. Yang pertama menarik perhatian Natali adalah mandi bola. Jimmy mengikuti kemauannya untuk mandi bola, dengan terpaksa aku juga ikut.

Karena mandi bola butuh pengawasan orang tua, akhirnya kami juga masuk ke dalam dan ikut bermain bersama Natali.

Natali begitu antusias melempar-lemparkan bola. Tak terasa, senyum kini mengembang di bibirku. Begitu juga dengan Jimmy. Seperti layaknya sebuah keluarga kecil yang nampak bahagia tanpa beban, kami menaiki perosotan sama-sama, mengubur tubuh mengenakan bola, dan bermain petak umpet di kolam yang penuh dengan bola itu.

Terlalu Cantik vs Terlalu Jelek [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang