Sebuah Ikatan Mulai Terbentuk

30 6 0
                                    

"Ternyata kalian bisa juga, ya, disuruh on time," sindir Li saat melihat keempat temannya sudah datang semua tepat pukul sepuluh di rumah An.

Mereka tertawa kecil melihat Li yang menggerutu.

"Yuk, langsung aja, ya! Aku, Di, sama Li ngerjain sejarah. Ki, Sa, sama Fa ngerjain kewarganegaraan." An berinisiatif membagi kelompok.

"Kenapa Li sama kamu?" protes Sa yang jelas tidak mau bekerja sama dengan Fa.

"Hehe, gapapa, pengen aja," jawab An.

"Eh, iya ada latian soal matematika wajib, nih. Nanti kalau keburu kerjain sekalian, yuk!" ajak Li semangat.

"Banyak banget, sih," gerutu Fa.

"Ya, kan sekalian, di rumah nanti pasti mager, tapi batasnya sesudah ashar, ya!" jawab Li.

Dan mereka kembali tenggelam dalam perdebatan dan soal-soal. Benar, bahwa tugas yang berat saat dikerjakan bersama jadi ringan. Tak sampai dhuhur, An, Di, dan Li sudah menyelesaikan tugasnya. Hanya tinggal Sa dan Ki, itupun karena Fa yang terus saja menganggu dengan bertanya banyak hal.

"Katanya ranking dua, gitu aja nanya!" gumam Ki pelan yang masih bisa didengar Li.

Akhirnya Li memutuskan membantu. Tidak enak jika sampai harus ribut di depan orang baru yaitu An.

"Finally, ya ampun!" ucap Ki dan Sa bersamaan.

"Yuk, makan dulu," ajak An yang langsung diangguki kelimanya.

"Latihan soalnya berapa nomor, Li?" tanya An, berusaha membuat obrolan.

Sejauh ini memang baru Li saja yang sangat terbuka. Dan, ya, memang ditambah Fa tetapi sedikit banyak, An mulai memahami kenapa Sa dan Ki tidak suka dengan Fa.

"Cuma ada dua puluh nomor," jawab Li setelah mulutnya kosong.

"Cuma, Li?" Itu suara Fa.

"Ya, lah. Pegel tahu kalau banyak-banyak," sewot Li.

"Tapi kalau soalnya besok ada tiga puluh, yang sepuluh dari mana, ya?" tanya Fa membuat yang lain berdecak, namun tetap diam.

"Ih, kok aku dikacangin?" protes Fa dengan suara nyaring.

"Sstt, ini rumah orang," kata Li.

"Ya, makanya jawab."

"Penting banget harus dijawab?"

"Jadi, menurutku, kemungkinan itu ada soal yang materinya sama jadi ya mungkin aja kan ada tiga puluh nomor," jelas An.

"Jawab gitu aja susah!" ketus Fa sambil melirik Li.

"Mikir gitu aja ga bisa!" sindir Li telak.

Dan di luar dugaan, Fa justru tertawa. Untuk seseorang yang baru mengenalnya, bisa jadi An menduga kalau Fa itu orang yang tidak mudah tersinggung. Namun, kalau yang sudah mengenal bertahun-tahun seperti Sa, ia paham kalau itu adalah cara Fa melarikan diri kalau sudah kalah dalam perdebatan.

"Eh, Li ini dibagi aja ya matematikanya? Kan ada dua puluh nomor, terus ada enam orang. Jadi satu orang ngerjain 3 nomor, kamu 5," kata Di santai.

"Boleh, asal aku nomor awal," jawab Li sambil nyengir.

Teman-temannya segera protes.

"Nomor terakhir dong, kan kamu yang udah bisa semua materi," bujuk An.

"Ya, lah, terserah kalian aja." Li mengalah.

"Ya udah. Urutannya Sa, Ki, Fa, Di, aku, dan terakhir Li." An membagi tugas.

"Aku awal aja dong, ga mau tengah!" protes Fa sambil spontan memegang lengan An, membuat An mengibaskan tangan Fa sambil setengah bergidik.

"Kenapa emang?" tanya Ki, mulai sebal.

"Yang gampang," jawab Fa tanpa menoleh ke Ki.

Li masih membaca soal bagiannya ketika menyadari bahwa semua mata mengarah padanya.

"Eh, apa?" tanya Li heran.

"Aku nomor awal aja, ya, Li!" Itu bukan kalimat tanya, apalagi menawar. Itu murni perintah.

"Kok tanya aku? Tanya Sa, lah!" sewot Li.

"Boleh, Sa?" tanya Fa dengan nada enggan.

Sa hanya mengangguk kalem.

"Dari tadi bilang, kek, boleh," gerutu Fa yang membuatnya mendapat tatapan tajam Li.

Hanya Li. Karena Li memang sudah melarang semua temannya untuk bersikap buruk terhadap Fa. Kenapa? Karena jika Fa mendapat perlakuan buruk dari seseorang, dia langsung membalas dengan cara meremehkan orang itu habis-habisan. Dan Li benci jika salah satu temannya diremehkan.

"Harusnya kamu yang dari tadi nanya baik-baik, bukan merengek." Li berucap datar sambil menatap tepat di manik mata Fa.

Fa memutus pandangan lebih dulu. Percuma mendebat Li. Aura canggung kembali menguar. Apalagi ditambah raut wajah Li yang mengeras.

Ki mengusap punggung tangan Li tak kentara. An dan Di saling lirik, mulai merancang rencana mencairkan suasana.

"Omong-omong, guys, besok udah puasa aja, nih. Bukber yuk!" tawar An.

"YUK! Kapan? Di mana?" tanya Di yang juga disambut wajah antusias Sa dan Ki.

Belum mereka berkomentar, sebuah suara menginterupsi, "Yuk! Kalau bisa sih minggu ini aja, pas sabtu, soalnya sekalian buat refreshing trus lanjut mikir lagi buat UAS."

Tentu saja itu suara Fa, yang langsung membuat antusias Ki dan Sa menguap justru ganti melotot ke arah Di.

"Boleh, hari sabtu minggu pertama aja. Mau di mana?" tanya Li, dia merasa bertanggung jawab memulihkan suasana. Meski dia juga melihat tatapan keberatan Sa dan Ki.

"Maunya di mana, Li?" tanya An, tersenyum menghargai.

"Di ayam geprek yang lagi booming aja itu!" Bukan, itu bukan jawaban Li, lagi-lagi suara Fa.

An terkejut tentu saja, tapi ia cukup bisa mengendalikan suasana, "oke, Fa usul di ayam geprek. Li mau di mana?"

"Boleh, tapi booking yang di tempat terbukanya itu, ya!" kata Li tenang.

"Kalau Sa dan Ki?" tanya An lagi.

"Ikut Li aja." Keduanya kompak.

"Oke, berarti keputusannya," ucapan An dengan cepat dipotong.

"Eh, aku kok ga ditanya sih, An?" protes Di.

"Halah, paling kamu juga jawab terserah, ya, kan?" tebak An.

"Kok tau?" tanya Di sambil nyengir.

"Kan kita sehati, beb," ucap An kalem yang disambut raut wajah geli dari Li dan tawa dari yang lain.

SQUAD OF CAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang