15. Sebuah Rasa

188 29 1
                                    

Taran terbangun dari tidurnya ketika jam dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Pertama kali yang dia lihat adalah ruangan asing yang penuh dengan buku-buku. Langit-langit yang masih gelap membuat dia mengerjapkan matanya beberapa kali. Karena lampu yang tidak menyala, membuat ruangan yang penuh dengan buku-buku itu sedikit terlihat lebih menyeramkan.

"Dimana ini?" tanyanya seorang diri tanpa merubah posisi.

Tangan Taran meraba sekeliling.

Bukan, ini bukan bantal!

Sesuatu yang tidak seempuk bantalnya, namun dapat memberikan kenyamanan. Paha Marchel. Kepalanya berada di pangkuan Marchel. Gadis itu mencoba mengingat kejadian kemarin. Kepalanya mendongak, menatap Marchel yang masih tertidur. Hidung mancung, bibir tipis, garis wajah yang tegas menambah ketampanan pemuda itu. Tanpa Taran sadari, tangannya sudah terulur menyentuh garis-garis wajah Marchel.

Pintu putih itu terbuka secara sempurna. Menampilkan sosok pria yang tengah berdiri di baliknya. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat dua manusia yang tengah tertidur lelap dengan damai. Bukan, tepatnya hanya yang pemuda. Karena sang gadis itu sudah membuka matanya, walaupun masih dalam posisi yang sama. Kaki pemuda itu dijadikan bantalan oleh sang gadis. Dan pemuda yang ada disampingnya tidur dengan posisi duduk dilantai sambil bersandar pada rak-rak buku. 

Pria itu adalah salah satu penjaga perpustakaan. Hari ini dia bertugas untuk menjaga perpustakaan, karena sebelumnya ia pamit pulang terlebih dahulu karena ada urusan mendadak. Jadi hari ini ia datang lebih pagi dari biasanya. Penjaga perpustakaan itu berjalan mendekati keduanya.

Taran tersenyum menatap Marchel yang masih bergelut dengan mimpi manisnya. Tangannya membuat pola abstrak di wajah pemuda itu. Ia menyentuh mata Marchel yang masih terpejam. Turun menyentuh hidung, dan terakhir gadis itu menyentuh bibir Marchel.

Tangan Taran berhenti tepat di bibir Marchel. "Jangan pernah membuat janji yang belum tentu kamu tepati. Aku hanya tidak ingin kesakitan itu terulang kembali."

Tangan Taran beralih menyentuh hidung mancung Marchel, dan mencubitnya perlahan agar pemuda itu lekas bangun. Namun laki-laki itu belum ada tanda-tanda akan bangun.

"Huft... Dasar kebo," cibir Taran.

"Permisi," interupsi seseorang. Taran menghentikan aktivitasnya memperhatikan Marchel, dan kini beralih menatap ke arah sumber suara. Taran terjingkat kala penjaga perpustakaan itu memperhatikannya yang masih dalam posisi semula.

Penjaga perpustakaan itu melihat bingung Taran dan Marchel yang berada di dalam perpustakaan sepagi ini. Bahkan gerbang sekolah baru saja terbuka.

Lalu kenapa bisa mereka berada disini?
Sedang apa mereka?

Ada begitu banyak pertanyaan di pikiran pria setengah baya itu. Namun dengan cepat dia menepisnya.

"Apa dia sudah dari tadi? Oh God, aku berharap dia tidak melihatnya." Batin Taran cemas.

Wajah gadis itu harap-harap cemas. Dia berharap jika penjaga perpustakaan itu tidak melihat apa yang tadi dilakukan Taran kepada Marchel. Dan gadis itu juga mencemaskan jika pria setengah baya itu berpikir macam-macam kepadanya.

Taran menyentil hidung Marchel agar laki-laki itu lekas bangun. Marchel yang merasakan panas di bagian hidungnya, hanya bisa menggosok. Laki-laki itu mengerjapkan matanya beberapa kali, dan mencoba mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya kembali.

Damn! I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang