BAB I Melihat Hal Tak Kasatmata

1.5K 78 5
                                    

Namaku Elsa. Sepintas tak ada yang aneh tentang diriku. Aku terlihat seperti gadis biasa yang normal dan bisa bersosialisasi dengan semua orang. Namun, tak banyak yang tahu kalau aku bisa melihat apa yang disebut dengan astral. Ya, aku bisa melihat mereka. Mereka yang tak kasatmata.

Sejak kecil aku sudah bisa melihat makhluk astral. Awalnya aku memang tak bisa membedakan mana manusia dan astral. Semua makhluk hidup kupikir adalah manusia. Namun ternyata berbeda.

Suatu ketika, aku yang masih berusia dua tahun dibawa Ayah dan Ibu ke sebuah hotel untuk pelatihan dan penataran guru. Hotel itu yang terletak di pertengahan sebuah kota yang cukup besar di Kalimantan. Hotel itu cukup sering di datangi wisatawan karena harga sewa kamarnya yang terjangkau untuk semua kalangan. Menurut Ayah, aku berteriak histeris saat masuk ke lobi hotel dan menangis kencang. Ayah yang bingung dengan sikapku mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Saat itu Ibu sedang sibuk di tempat parkir mengambil tas kami, sehingga Ayah yang menggendongku.

“Kenapa, Cha? Kok menangis terus….” Ayah berusaha menenangkanku karena semua orang yang berada di lobi hotel memandang kami dengan tatapan bingung.

“Tu … tu …” ucapku. Saat itu aku belum lancar bicara.

“Hantu maksud kamu?” Tanya Ayah   dengan serius, sambil mengusap air mataku.  Aku hanya mengangguk.

Seorang pegawai hotel mengajak Aayah bicara dan bercerita kalau hotel ini dulunya adalah bangunan kosong yang dirubah menjadi hotel. Menurut warga sekitar hotel ini dulunya adalah pemakaman tua yang di atasnya dibangun sebuah gedung kosong lalu dijadikan sebuah hotel.

“Jadi wajar kalau anak Bapak ketakutan masuk ke hotel ini,” ucap pegawai hotel sambil pamit kepada ayahku. Ayah tak mengatakan apa pun kepada Ibu dan hanya bilang tempat ini angker.

“Icha, bukan anak biasa. Pantas saja Ayah sangat menyayangimu,” gumam Ayah dengan pelan sambil menatapku yang masih ketakutan.

Sejak saat itu Ayah mulai menyadari aku memiliki kemampuan melihat makhluk tak kasatmata.

Semakin hari kemampuanku melihat makhluk astral semakin jelas dan akurat. Aku bisa melihat wujud dan bentuk “mereka”. Namun Kakek mengajariku untuk tidak takut dan berani menghadapinya. Kakek sering datang ke rumah untuk sekedar bermain denganku.  Jarak rumahnya yang jauh  tidak menghentikan keinginan beliau untuk datang menemuiku.

****
Usiaku sudah menginjak 4 empat tahun dan Kakek meninggal karena sakit. Beberapa bulan sebelum meninggal, Kakek selalu meminta Iibu untuk membawaku ke rumah beliau jika ibu libur bekerja.

Sejak Kakek meninggal, Ibu sangat terpukul dan sering melamun, namun berusaha tegar dan ikhlas. Semenjak saat itu, Nenek jadi tinggal sendiri di kampung,  dan tak mau ingin ikut anak-anaknya. Menurut Nenek, tinggal di kampung lebih nyaman daripada tinggal di kota.

“Rumah ini menjadi kenangan yang tak bisa dilupakan sehingga aku tak mungkin pergi dari tempat ini. Rumah ini menjadi saksi bisu kenangan hidupku dengan almarhum Kakek. Sampai mati pun aku akan tetap berada di sini.” Ucap Nenek kepada Ibu ketika ibu meminta nenek tinggal dengan kami.

Sepeninggal Kakek, Nenek kembali mengerjakan pekerjaan sehari-hari seperti berkebun dan bertani. Di belakang rumah Nenek, ada kebun salak yang cukup luas dan berbuah lebat. Serta pohon kelapa yang tumbuh dan berbuah lebat di kebun nenek sehingga Nenek bisa memanfaatkan semua itu untuk dijual dan menghidupi diri sendiri. Nenek memang tidak pernah mau meminta nafkah dari anak-anaknya dan memilih bekerja di usia senjanya sampai sekarang.

“Alam sudah menyediakan banyak hal untuk memberi nafkah bagi manusia. Tugas manusia hanya perlu menjaga dan memanfaatkan alam dengan baik tanpa merusaknya.” Itulah ucapan Nenek kepada Ayah ketika Ayah menawarkan uang bulanan kepada Nenek.

Saat Kakek masih hidup, Kakek-lah yang dominan mencari nafkah dengan bertani, bertukang, berkebun, mpembaca doa di acara keagamaan, dan membantu menyembelih hewan ternak. Kakek dulu sempat mondok di salah satu pesantren terkenal di Kalimantan dan digratiskan oleh pemilik pesantren. Jadi wajar Kakek bisa membaca huruf arab gundul, hafal berbagai doa, dan ilmu agamanya kuat. Walaupun dulu menjadi santri, Kakek tetap bergaul dengan semua orang. Beliau memiliki banyak teman.  Ketika beliau meninggal, ratusan orang datang ke rumah duka dan mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhirnya. Para ulama, kyai, dan nyai pondok pesantren serta banyak orang dari berbagai agama datang melayat.

Semenjak Kakek meninggal, aku diarahkan kakek angkat yang merupakan ayah dari bu Nur, pengasuhku. Aku menyebut beliau Kayi. Entah dari mana beliau tahu aku memiliki kemampuan aneh ini. Namun beliau menjadi sosok pengganti Kakek yang mengajariku bagaimana cara mengatasi gangguan dari mereka.  Dan tak jarang beliau pun mengusir mereka yang usil padaku.

“Tidak masalah jika kamu bisa melihat dan berinteraksi dengan mereka, tapi kamu yang harus mengendalikan mereka, bukan mereka yang mengendalikanmu. Dengan begitu  agar mereka tak bisa mengganggumu.”

Awalnya aku merasa kesal dan benci  pada diriku sendiri. Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang memiliki kemampuan ini? Aku ingin jadi anak normal. Aku takut orang mengira aku gila. Namun Kayi selalu menasihati dan meminta aku ikhlas dengan segala hal yang telah terjadi.

Walaupun aku bukan cucu kandung Kayi, beliau sangat menyayangi dan menganggap aku seperti adalah cucu sendirinya. Begitu juga dengan Nini, istri Kayi. Setiap hari Nini, Bu Nur, dan Kayi bergantian mengajakku jalan-jalan mengelilingi kota dengan sepeda onthel.

Ada kejadian dimana  kaki kiriku terkena arang panas saat Ibu sedang membakar ikan. Kakiku langsung melepuh dan entah kenapa saat itu Kayi datang tiba-tiba muncul ke di rumah dan marah sekali.

“Kalau kalian tidak bisa menjaga Icha, berikan padaku. Akan aku besarkan dia sendiri!!” Ayah dan Ibu yang mendengar ucapan Kayi sangat takut dan langsung meminta maaf. Dan semenjak kejadian itu Ayah dan Ibu takut dengan Kayi.

*****
Kayi banyak mengajariku tentang ilmu agama dan bagaimana cara mengatasi ketakutan rasa takut saat bertemu hantu.

“Jika kamu ketemu hantu tidak usah takut. Hantu itu gak tidak akan mengganggu jika kamu tak tidak takut dengan kepada mereka. Semakin kamu takut, maka mereka juga akan semakin mengganggumu.”

Aku hanya mengangguk mendengar semua ucapan beliau. Kayi sudah kuanggap seperti kakek kandungku. Kayi juga menjadi sosok pengganti almarhum Kakek.

“Walaupun kamu bukan cucu kandung, tapi kamu adalah cucuku. Kamu adalah anak Nur dan cucu pertamaku.” Kata-kata itu selalu aku ingat sampai sekarang. Nini juga sangat sayang kepadaku. Aku sering dibelikan cemilan dan kue oleh beliau. Ibu Nur juga sangat menyayangiku. Aku dianggapnya seperti anak sendiri.

Ketika usiaku menginjak 9 sembilan tahun, Kayi meninggal. Aku sangat terpukul dan merasa kehilangan.

Semenjak saat itu aku berusaha belajar mengendalikan kemampuan  ini. Kemampuan yang membuatku merasa aku bukan anak normal. Aku sadar aku berbeda, namun aku mencoba bersikap seperti anak normal lainnya, yang pura-pura tak bisa melihat hantu atau astral. Dan sejak itulah pengalaman hidupku dimulai.

AKU BUKAN INDIGO Where stories live. Discover now