Bab 6 Kebakaran

608 45 1
                                    

80% aku bukan indigo adalah cerita saya dari kecil sampai sekarang.

Saya tak pernah memaksa untuk percaya.

*****

Malam itu aku bermimpi aneh. Dalam mimpiku, terjadi kebakaran yang cukup besar di tengah kota dan rumah tante adalah salah satunya. Tanteku memang berjualan peralatan elektronik dan sejenisnya sebagai mata pencaharian. Berdagang menjadi salah satu pilihan.

Aku terbangun menatap Meyra yang duduk disebelahku dengan bingung.
“Ya Allah, masih tengah malam rupanya.” Ucapku lirih sambil menatap mata Meyra. Sahabat kecilku ini menatap dengan bingung dan cemas.

“Kamu kenapa terbangun tengah malam? Mimpi burukkah? Mimpi napa? Apa itu menakutkan?” Meyra mencecarku dengan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang cukup cerdas untuk anak kecil seumuran dia.

“Aku mimpi kebakaran yang cukup besar di tengah kota. Api menjalar dari atap dan terkena rumah tante. Tak ada yang tersisa Meyra. Semuanya habis terbakar.” Jawabku sambil menghapus keringat dinginn dengan tisu kecil di dekat tempat tidur.

“Mimpi itu cuma mimpi. Nggak usah dipikirkan. Tarik napas, baca doa lalu coba tidur lagi. Besok kamu harus ke sekolah.” Meyra mencoba menenangkanku dan tersenyum. Aku menurutinya dan mencoba memejamkan mata.

Keesokan harinya aku pergi sekolah sendirian. Tak ada Meyra atau Om Musa yang biasa mengikutiku. Entah mereka ada dimana aku juga tak tahu.

“Bocah cantik …. putih sekali kulitnya. Bolehkan aku ikut denganmu.” Sosok perempuan berwujud kuntilanak yang menjadi penunggu pohon di depan sekolah mulai mengganggu setelah melihat Om Musa tak ada di sekitarku.

“Pergi …. Jangan bermimpi bisa ikut denganku!” Aku mulai kesal. Tubuh kuntilanak itu  baud an wajahnya rusak entah karena apa. Tawa nyaringnya yang khas sangat mengganggu pendengaranku.

“Jangan gitu dong cantik. Aku nih handak bekawan lawan ikam. Ikam kakanakan bungas, putih, lucu, pintar. Hakunai kalo?” Kuntilanak itu kembali membujukku. Kukunya yang panjang dan berwarna hitam mencoba memegang rambutku namun kutepis kasar.

“Aku bilang., PERGI! Kalau tidak, kamu tahu aku bisa membacakan apa? Mau kubacakan ayat kursi? Atau Surah Al Jin?” Ancamku.

“Grrrrr grrrr grrrr … Pergi atau kamu tahu akibatnya!” Om Musa muncul dengan menggeram. Harimau putih dengan ukuran kecil ini memang suka mengancam dengan geraman. Kuntilanak itu langsung menghilang entah kemana. Anehnya semua makhluk di sekolah takut dengannya kecuali Meyra. Om Musa memang terlihat galak tapi menurutku dia imut dengan kumis panjangnya. Jika aku susah dibangunkan alias tidur seperti orang mati, Om Musa akan mengusiliku dengan mengusap kumisnya ke kakiku. Dia tahu aku paling geli dengan kumis. 

Hal yang paling tak aku sukai adalah jika makhluk negatif mencoba memegang tubuhku bahkan memaksa masuk. Jika bertemu astral negative, aku bisa muntah dan pusing. Menurut Om Musa itu adalah benturan energi dan cara mengatasinya dengan membaca ayat kursi, Al-Fatihah dan ayat suci lainnya.

“Kamu gak apa-apa kan?” Om Musa bertanya dengan lembut. Matanya memandang seluruh sudut ruang kelas untuk memastikan keadaan aman.

“Nggak apa-apa Om. Terima kasih.” Jawabku. Om Musa pamit pergi sebentar dan Meyra datang sambil cengengesan. Aku memerhatikan wajahnya yang ceria seperti habis menjaili seseorang.

“Siapa yang kamu jadikan korban, Meyra?”

“Ibu yang paling galak di sekolah. Dia memukul siswa tanpa alasan. Jadi di buku beliau tadi aku tumpahin teh panas.” Meyra tersenyum usil lalu lari menembus tembok kelas sebelum aku sempat mengomelinya. Meyra memang kerap jail jika ada ketidak adilan di sekolah.

“Hati-hati akan ada kebakaran!!!” Suara parau nan berat berbisik di telingaku. Aku menoleh dan melihat ke semua sudut kelas namun tak makhluk apapun. Aku kembali berusaha berkonsentrasi agar bisa melihat sosok itu namun tak berhasil. Aku tak melihat apapun.

“Apa ini peringatan? Atau ancaman?” gumamku sambil berusaha berkonsentrasi dengan pelajaran hari ini.

Saat aku pulang sekolah, Meyra mengikutiku. Wajahnya terlihat tak merasa bersalah setelah berhasil mengusili guru tergalak di sekolah dan bernyanyi dengan suara cempreng nan nyaring

Bintang kecil di langit yang biru
Amat banyak menghias angkasa
Aku ingin terbang dan menari
Jauh tinggi ke tempat kau berada

Twinkle twinkle little star
how I wonder what you are

Belum selesai Meyra bernyanyi, dia langsung mendekatiku.
“Cha, hati-hati. Ada si gundul.” Ucapnya dengan waspada. Meyra mulai terlihat cemas.
Si gundul adalah tuyul yang biasa mencuri uang dari rumah warga. Meyra lebih suka menyebut  si gundul karena dia bilang nama tuyul itu tidak keren.
“Apa jelek, lihat-lihat! Sana pergi jangan ganggu kami!” Meyra langsung melotot ketika tuyul bermata merah lewat dihadapanku. Tuyul itu tak menyahut dan hanya menatap kami dengan marah lalu pergi. Jika ada tuyul di sekitarku, terkadang tercium bau aneh yang tak enak. Entah bau apa itu.

“Jelek sekali itu pakai celana saja. Gak sopan banget si gundul. Ih ih jelek.” Meyra terlihat jijik dengan sosok tuyul. Aku hanya tertawa mendengar ucapannya.

****
“Gimana sekolahmu? Lancar?” Ayah bertanya padaku di sela makan malam. Menu makan malam ini sederhana, hanya nasi goreng dengan telur. Itu sudah sangat nikmat bagiku.

“Lancar kok, Tenang saja.” Jawabku sambil menghabiskan nasi goreng yang masih tersisa di piring.

“Habiskan nasinya. Kamu tahu kan kalau makanan tidak boleh dibuang-buang karena itu mubazir.” Ayah kembali bersuara. Aku mengangguk.

Ayah dan Ibu memang mengajariku untuk selalu menghabiskan makanan. Mubazir rasanya jika makanan dibuang.

“Kita masih beruntung dan harus bersyukur masih bisa makan. Padahal di luar sana banyak orang yang kelaparan.” Ayah selalu berkata seperti itu untuk membuatku selalu bersyukur dengan apa yang sudah diberikan Yang Maha Kuasa kepada kami.

Belum selesai kami semua makan malam, tiba-tiba terdengar bunyi pemadam kebakaran dan teriakan nyaring
“Kebakaraaaaaan. Kebakaraaaaan!”

Ayah dan Ibu langsung mengajakku naik motor untuk melihat dimana kebakaran itu terjadi. Aku sempat menatap wajah Meyra yang terlihat panik.

“Rumah tantemu …” Meyra berkata lirih dengan menunjukkan ekspresi sedihnya. Dia menundukkan wajahnya.

“Yah, rumah tante. Cepat! Kita ke sana.” Ucapku dan tanpa banyak tanya Ayah langsung memacu motornya.

Sesampainya di depan rumah tante, api sudah membesar. Aku mendekati tante yang menangis sambil menggendong, Ika adik sepupuku yang masih kecil.

“Cha kamu gendong Ika ya. Tante sama mamamu mau mengambil barang yang bisa diambil.” Tante langsung menyerahkan Ika padaku.

Aku menggendongnya dengan pelan. Untungnya, Ika tak menangis dan tertidur seolah tak tahu apa yang terjadi.

Aku menatap rumah tante yang masih tersulut api dan melihat hal ganjil didalam kobaran api itu. Ada bola-bola api yang cukup besar didalamnya. Bola api yang terbang melayang dan membuat hawa panas yang tak dapat aku mengerti.

“Itu hantu api. Jangan didekati. Jangan coba-coba mau memegang mereka.” Om Musa langsung memberiku peringatan sebelum aku nekat mendekat.

Aku hanya menatap bola-bola api itu sampai mereka menghilang dengan sendirinya.

****

Mimpi napa? (mimpi apa?)

Aku nih handak bekawan lawan ikam. Ikam kakanakan bungas, putih, lucu, pintar. Hakunai kalo? (Aku mau temenan sama kamu. Kamu anak kecil cantik, putih, lucu, pintar. Mau kan?)

Jika ada yang merasa tahu lokasinya, tolong rahasiakan...

AKU BUKAN INDIGO Where stories live. Discover now