Bab 4 Perempuan Berbaju Hitam

683 46 4
                                    

Aku menikmati hari-hariku bersekolah dengan Meyra yang selalu menemani. Pelajaran yang paling tidak aku sukai adalah matematika. Sangat sulit menerima hitungan angka dalam jumlah tertentu lalu memasukkannya ke dalam otakku. Mungkin aku adalah siswi yang paling bodoh dalam matematika.

“Ayo Icha, kamu pasti bisa. Yang semangat belajar berhitung… Jangan malas.” Meyra terkadang memberi semangat namun aku tak bergeming dan hanya menatap buku kosong dan tak menulis apapun.Wajah cantiknya tersenyum menatapku dengan matanya yang berwarna biru.

“Sulit Meyra. Sulit sekali untukku memahami semua ini. Kepalaku sakit.” Aku memandangnya dengan tatapan ingin menyerah. Meyra menatapku dengan wajah datar.

“Kamu pasti bisa. Jangan gampang menyerah.” Meyra kembali memberiku semangat. Sungguh, belajar matematika adalah pelajaran yang menyulitkan untukku. 

“Meyra, kamu lihat anak laki-laki berkacamata yang duduk di depan? Coba kasih tahu semua jawaban dia ke aku.” Aku mulai usil dengan meminta Meyra menyontek anak paling pintar di kelas. Meyra yang polos langsung bergerak memberitahuku semua jawabannya. Aku tersenyum nakal. Baru kali ini aku usil dengan memanfaatkan Meyra. Mungkin jika aku lebih pintar matematika aku tak akan melakukannya.

Terkadang saat sedang santai di teras rumah, aku mengajari Meyra mewarnai. Ayah sering memberiku buku gambar penuh sketsa untuk berlatih mewarnai. Meyra sangat menyukai kegiatan mewarnai. Itu mengingatkannya kepada sang Ibu.

“Kupu-kupu yang lucu. Kemana engkau terbang, Hilir mudik mencari bunga-bunga.” Meyra selalu bernyanyi jika sedang melihat kupu-kupu.

“Kamu menyukai kupu-kupu?” Aku bertanya sambil terus mewarnai dengan menuruti warna yang diinginkan Meyra.

“Iya, kupu-kupu itu lucu. Warna-warni bagus. Seperti pelangi.” Meyra tertawa sumringah dan memperlihatkan giginya yang putih.

“Ayahku bilang jika ada kupu-kupu datang ke rumah di malam hari makan akan ada tamu yang datang ke rumah.” Meyra berkata serius. Aku tak menggubris perkataan Meyra dan menatap dua sosok yang penrah kulihat, Sosok perempuan yang dulu menghilang dibalik hujan. Mataku terus menatap mereka dan berusaha berkomunikasi dari jarak jauh namun gagal. Mereka menghilang. Meyra yang sadar denganku yang tak fokus mewarnai langsung menegur.

“Kamu lihat apa?” Meyra menatapku dengan bingung.

“Sosok-sosok itu. Mereka datang lagi.” Jawabku sambil membereskan semua peralatan mewarnai dan memilih masuk ke dalam rumah. Aku tak mau diganggu sosok-sosok itu. Wajah mereka cukup mengerikan karena hancur dengan rambut yang sangat panjang. Aku takut.

“Mereka jahat Icha. Jangan dekati mereka.” Meyra kembali memperingatkanku. Aku mengangguk lalu mengajaknya masuk rumah.
Meyra sangat suka menonton televisi. terlebih kartun. Meyra bilang televisi itu adalah kotak ajaib yang berwarna-warni. Mulutnya akan menganga setiap dia melihat televisi bersamaku. Meyra tak pernah diusir dari rumah oleh penghuni rumah dalam tanda kutip.

Beberapa dari “mereka” berasal dari guci yang dikoleksi Ibu dan bertuliskan ayat suci Al-Qur’an. Wujud mereka juga bagus, tak ada yang mengerikan.

Salah satunya sosok pria tua bersorban dengan baju mirip orang Arab dengan sepatu lancip, aku biasa menyebutnya Oom gendut karena perutnya yang gembul.

Oom sangat suka berada dalam guci dan hanya keluar jika kupanggil atau ada makhluk negative yang ingin masuk ke dalam rumah. Suaranya yang parau seperti orangtua membuat Meyra sering mengoloknya dengan menyebutnya sebagai oom tua.

“Icha, kenapa oom itu tidak galak? Jenggot dan kumisnya membuatnya terlihat seperti orang yang galak?” Meyra bertanya dengan kepolosannya. Terkadang Meyra memang sangat polos.

“Wajahnya memang galak tapi hatinya baik.”

“Kayak aku. Aku juga anak baik.” Meyra tertawa sambil menggerakkan gaun cantiknya. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

“Meyra, maukah kamu memperlihatkan wujud aslimu padaku?” Aku memandangnya dengan serius disaat semua orang di rumah sudah tertidur lelalp. Meyra menatapku ragu dan menaikkan alis kanannya.

“Apa kamu masih berani berteman denganku ketika kamu melihat wujud asliku nanti?” Meyra bertanya dengan serius. Aku mengangguk yakin.

“Tutup matamu, hitung dalam hati dari 1-10 lalu buka mata.” Meyra memberikan instruksi dan aku mengangguk mengiyakan. Jantungku berdebar kencang, ada rasa gugup yang mendera ketika aku akan melihat wujud asli Meyra. Kuatkan aku Ya Allah, batinku.

Aku menutup mata lalu mulai menghitung dari angka 1-10 dan ketika hitungan ke 10 aku membuka mata dengan pelan. Anehnya, Meyra tak ada di depanku.

“Aku dibelakangmu.” Meyra berucap lembut. Aku segera membalikkan badan.

“Meyra, ini wujud aslimu?” Aku menatap takut sosok Meyra yang gaunnya kotor dan berlumuran darah segar dengan rambutnya yang acak-acakan. Wajah Meyra penuh lebam dan ada luka bekas goresan pisau di pipi cantiknya. Aku menarik napas sambil menatap sosoknya yang melayang dihadapanku dan berusaha menghilangkan rasa takut.

“Iya inilah aku. Meyra Nath. Kamu takut?”

“Tidak, tapi jangan pernah perlihatkan wujud ini lagi dihadapanku.” Aku tertawa lalu menarik selimut untuk tidur.

“Selamat tidur Icha. Jangan lupa berdoa.” Meyra tersenyum dengan wujud aslinya. Aku membalas senyumannya dan menyaksikan Meyra yang menghilang entah kemana.

Keesokan harinya aku pergi ke sekolah. Namun aku hanya berangkat dengan berjalan kaki karena Ayah sibuk. Jarak dari rumah menuju sekolah cukup jauh jika harus ditempuh dengan berjalan kaki. Suasana memang sepi karena aku sengaja datang lebih cepat. Jalan raya tidak banyak kendaraan melintas entah kenapa. Suasana jadi sedikit mencekam padahal hari masih pagi.

“Cantik, cantik sini aku ikut ya?” Seorang perempuan berbaju hitam lusuh dan penuh robekan menghampiriku. Wajah separu hitam karena terbakar itu mendekatiku dengan cepat.

“Kenapa ini makhluk jam segini sudah muncul?” Gumamku kesal.

“Aku ikut yaa cantik. Anak cantik. kulitmu putih sekali. Aku suka kamu.” Perempuan itu kembali mengikutiku.

Dengan setengah berlari aku berusaha agar cepat sampai di sekolah. Namun dia tetap mengikutiku dan sesekali tertawa melengking. Ini pertama kalinya aku melihat makhluk ini. Entah ia berasal darimana dan terus mengikutiku.

“Kamu pergi saja. Badanmu bau gosong. Aku tidak suka.” Aku berusaha mengusirnya dan dia hanya tertawa mendengar ucapanku.

“Hei perempuan aneh, cepat pergi!! Jangan ganggu Icha!! Kalau kau tidak pergi, aku musnahkan kau!” Oom datang dengan Meyra lalu menghampiriku. Makhluk itu terlihat takut dan gelisah.

Aku menatap matanya. Mencoba melihat sedikit ke dalam memorinya, menerawang semua hal yang terjadi padanya. Sejak kecil, aku memang bisa melihat masa lalu orang lain dengan menatap matanya. Karena lewat mata lah, semua memori dan kenangan orang tersebut jelas terlihat. Tapi itu hanya bisa dilakukan jika kondisiku sedang sehat.

“Tahun 1847 di bulan Mei, kamu menunggu laki-laki itu di gubuk di tengah sawah namun dia tak pernah datang. Dia bangsawan Eropa dan kamu hanya rakyat jelata. Laki-laki itu bersama perempuan lain padahal kamu sedang mengandung bayinya. Saat kamu pulang ke rumah, beberapa laki-laki bertopeng dan bersenjata lengkap menembakmu lalu membakar mayatmu di hutan. Dan kamu jadi seperti ini, Siti.” Ucapku sambil menatapnya. Oom dan Meyra menatapku dengan bingung.

“Aku dendam dengan mereka. Aku akan membunuh mereka semua. Aku akan kembali lagi nanti!” Siti menatapku dengan tajam lalu pergi entah kemana. Ya, namanya Siti. Hanya nama itu yang aku dapatkan. Aku menarik napas dan berjalan menuju sekolah, Oom dan Meyra mengikutiku. Sesekali mereka bercanda ria sambil tertawa.

AKU BUKAN INDIGO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang