Bab 9 Neyo Si Penjaga Hutan Kalimantan

626 60 6
                                    

“Icha, ada Aleesa,” Meyra menyentuh pundak dengan lembut saat aku duduk di taman. Hari itu pelajaran olahraga dan semua siswa wajib pergi ke lapangan di dekat taman. Karena aku kurang enak badan, aku meminta izin untuk tidak ikut main bola di lapangan dan duduk di taman dengan Meyra.

Aleesa menatapku dengan tatapan sendu. Ya, aku tahu, ada kesedihan mendalam dalam tatapan itu. Tatapan penuh arti yang aku sendiri tak memahaminya.

“Kak Aleesa, ada apa?”

“Bantu aku mencari tunanganku.” Ucapnya lirih. Ada kesedihan yang sangat dalam dari seorang Aleesa. Kesedihan yang hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri. 

“Aku minta maaf, mungkin aku tak bisa membantumu. Kau harusnya paham, ada batasan antara kita. Batasan yang tak bisa aku langgar dan kamu juga tahu. Ada energy besar yang menjadi pembatas antara kamu dan aku.” Aku mempertegas ucapan lalu pergi meninggalkan Aleesa. Aku tidak tahu ini salah atau benar, tapi aku memang tak bisa berbuat apapun. Aku sangat ingin membantunya namun aku tak bisa melakukan apapun.

Aku mempercepat laju sepeda menuju sekolah. Aku pergi lebih dulu namun telah meminta izin kepada guru olahraga. Meyra mengikuti dengan melayang santai di sekitarku. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, tak ada sepatah katapun yang terucap dari mulutku atau Meyra. Kami sama-sama membisu dalam diam.

“Aku harap Aleesa bisa bertemu dengan Ahmad sekali saja. Kasian dia. Dia sama sepertiku. Menunggu seseorang. Kamu tahu, menunggu  itu melelahkan, Icha.” Meyra membuka percakapan kami ketika aku memarkirkan sepeda di tempat parkir khusus siswa.

“Ketika harapan hilang, seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan tongkat mengatakan padaku. Jangan patah semangat, kamu pasti bisa menemukan orangtua kamu anak cantik. Saya yakin itu. Tunggulah di tempat ini. Maka kamu akan menemukan gadis kecil yang akan membantu bertemu  orangtuamu suatu saat nanti. Dan aku menemukanmu. Aku percaya itu kamu.”

“Darimana kamu yakin kalau itu aku, Meyra? Bisa saja kan itu orang lain?” Aku hanya ingin mendengar tanggapan Meyra.  Meyra terdiam, lalu tersenyum.

“Aku percaya kamu adalah orang itu. Aku sudah lama memerhatikanmu.”

“Kau terlalu yakin, Meyra.” Aku menatapnya dengan tajam. Meyra tertawa geli.

“Kau terlalu serius. Kalau orang terlalu serius itu nanti cepat tua. Tumbuh keriput nanti.” Meyra meledek lalu berlarian sendiri sambil tertawa riang. Dan hanya terdengar suara teriakannya mengejar burung-burung liar di sekitar sekolah.

******

Aku duduk di atas kasur sambil menonton televisi di kamar. Meyra datang sambil tersenyum dan memperlihatkan gigi putih bersihnya. Aku pura-pura tak melihat keberadaannya dan memilih tidur. Entah kenapa mala mini aku malas berinteraksi dengan siapapun. Tubuhku cukup lelah hari ini. Sekolah dari pagi sampai siang merupakan hal yang cukup melelahkan bagiku.

“Aku mohon tolong aku. Mereka membawaku ke tempat ini. Kamu bisa membantuku?” Seorang laki-laki berkulit kuning langsat dengan tangan di rantai di sebuah ruangan kecil dan berjeruji besi berbicara padaku.

“Siapa kamu? Kenapa kamu ada di tempat ini?”

“Aku Neyo, penjaga hutan Kalimantan. Mereka menangkapku untuk mengambil mustika di dalam hutan. Aku harus segera kembali. Bisa kau membantuku? Lepaskan ikatan ini dan keluarkan aku dari tempat ini. Aku mohon.” Laki-laki itu menatapku dengan penuh harap. Sebuah harapan agar aku bisa membantunya keluar dari tempat ini. Tempat yang juga terasa asing bagiku. Sebuah ruangan kecil seperti penjara lengkap dengan teralis besi dan rantai yang mengikat rantai laki-laki itu.

“Bagaimana caranya agar aku bisa membantumu?”

“Kamu ambil panah itu, bawa padaku. Cepat. Waktu kita tak banyak. Waktumu juga akan segera habis.”lak-laki itu menunjuk sebuah tas kulit coklat berisi panah dengan banyak busur yang terletak di ujung ruangan sempit ini. Aku bergegas mengambil dan mlangsung memberikanya. Laki-laki itu mengambil pisau kecil di dalam tas itu lalu memotong rantai di tangannya. Aku sendiri merasa takjub dengan kemampuan pisau kecil berwarna emas yang dalam sekejap bisa memotong rantai.

Laki-laki itu menyuruhku mundur dan dia melesatkan satu anak panah menembus jeruji besi itu. Ada sedikit ledakan saat dia melakukan itu namun semuanya terlhat aman.

“Ayo pergi. Kamu aku antar pulang. Siapa namamu gadis kecil?” Laki-laki itu menggengam tanganku dengan erat. Anehnya aku tak merasa takut dengannya. Energinya juga sangat positif dan menenangkan.

“Icha, nama kakak siapa?”

“Namaku Neyo.”
*****
Aku terbangun lalu terdiam sambil duduk menatap televisi yang lupa kumatikan. Apa ini mimpi? Atau nyata? Kenapa harus aku yang mengalami kejadian ini? Aku sibuk memikirkan semua itu sampai satu sosok yang sepertinya pernah kulihat datang menghampiri. Sosok laki-laki berkulit kuning langsat dengan tas kulit berisi busur dan anak panah tersenyum  lalu duduk dihadapanku.

“Icha, terimakasih kamu sudah menyelamatkanku tadi.” Dia mengajakku berkomunikasi. Ya, jika sesosok astral mengajak berkomunikasi, secara otomatis aku tak bisa menolaknya. Kemampuan aneh ini memang belum bisa aku kendalikan sepenuhnya.

“Kamu, Neyo?”

“Iya, ini aku. Orang yang baru kamu tolong tadi.”

“Aku pikir itu hanya mimpi. Ternyata itu nyata ya?” Aku menggelengkan kepala karena tak percaya dengan apa yang terjadi. Semua seperti mimpi saja. Bagaimana mungkin, untuk anak SD sepertiku sudah bisa mengalami hal aneh ini? Ada apa denganku? Apa ini sebuah kesalahan? Aku terus bergumam dalam hati dengan banyak pertanyaan yang melekat di kepala dan tak bisa dimengerti.

“Itu bukan mimpi, Icha. Ini aku, Neyo. Lihatlah ini bekas rantai itu. Aku sudah dua hari ada di tempat itu. Jika bukan kamu yang menyelamatkanku, mungkin semuanya akan berbeda.” Neyo memperlihatkan bekas rantai dipergelangan tangannya. Aku terdiam melihat semua itu.

“Jadi tadi, kamu mengantarku pulang?” Aku bertanya dengan penuh kebingungan. Semuanya masih terasa membingungkan dan aneh bagiku.

“Iya, aku hanya ingin memastikan kamu pulang dengan selamat. Satu hal yang bisa aku janjikan, kapanpun kamu butuh bantuanku cukup sebut namaku satu kali dalam batinmu. Maka aku akan datang menemuimu. Dimanapun kamu berada. Terima kasih aku pamit.”

Setelah Neyo pergi, aku terdiam seribu bahasa. Berusaha mencerna perkataan Neyo padaku. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Aneh tapi nyata.

AKU BUKAN INDIGO Where stories live. Discover now