Setunggal

4.1K 157 19
                                    

Ku rapatkan kembali jaket yang aku kenakan, entahlah malam ini terasa begitu dingin sekali tidak seperti malam-malam biasanya, aku berjalan menyusuri lorong-lorong sepi dan hanya ditemani lampu-lampu seadanya, aku menengok kembali kebelakang seketika aku bergidik ngeri, alamak serem kali ini suasana, aku kembali berjalan dengan sedikit mempercepat langkahku menuju rumah, hhhmm rumah ?

Aku enggan menyebutnya rumah, lebih tepatnya adalah neraka yang akan membakarku dan membunuhku secara perlahan, rumah bagiku adalah tempatku pulang beristirahat dari segala penatku, melindungi ku dari terik dan hujan, tapi tidak justru apa yang dianggap orang lain adalah rumah bagiku tak lebih dari tempat pembunuhan.

"Hah!"

Ku buang nafas beratku ketika sampai didepan pintu gerbang rumah megah itu, semua lampu masih menyala pertanda masih ada kehidupan didadalamnya ku lirik jam yang melikar ditangan kiriku, pukul 10 gumamku, aku tak menyukai ini. Seketika lamunanku buyar ketika kurasakan ponsel yang di kantongku bergetar, kuraih dan ku baca siapa yang meneleponku malam-malam begini, ketika satu nama tertera di layar ponselku bibirku langsung menyunggingkan senyum.

"Ya," jawabku

"..."

"Aku sudah didepan rumah Jessie,"

"..."

"Ya, aku sudah mengerjakannya,"

"..."

"Nanti akan aku berikan,"

Aku mematikan ponselku tepat ketika Mas Parman membuka gerbang untukku, Jessica sahabatku menelpon hanya untuk meminta contekan pelajaran Matematika, karena aku menyayanginya aku akan memberikannya.

Kulangkahkan kakiku memasuki neraka didepanku setelah berbasa-basi dengan Mas Parman, ku putar knop pintu dan aku memasukinya, indera pendengaranku mendengar suara gelak tawa dari ruang keluarga, aku menoleh sebentar, seakan muak aku melangkahkan kaki ku menuju kamarku yang berada dilantai dua neraka ini. Saat kakiku menginjakan kaki di tangga paling bawah langkahku dihentikan oleh suara bariton kepala keluarga rumah ini.

"DAN!"

Aku menoleh tepat saat itu juga sebuah tangan kekar menyentuh pipiku.

PLAAAKK!!

Ya, itu sebuah tamparan untuku, kuraba sisi bibirku yang mungkin robek dan berdarah, ku merasakan anyir diujung lidahku.

"Dari mana saja kau!" bentaknya.

"Bukan urusanmu," kataku lemah namun dingin.

"Kau...!" Hardiknya terpotong.

"Papa sudah, pa," cegah suara seorang wanita yang perlu kalian tahu dia ibu tiriku.

"Kau, meninggalkan Rasya disekolah sendirian bagaimana jika terjadi sesuatu dengannya, hah!"

Aku melirik gadis yang dipanggil Rasya dengan ekor mataku, dia menunduk dan sesekali melihat kearahku dengan tatapan cemasnya.

"Aku tak memintanya pulang bersamaku," jawabku enteng.

PLAAAKK!!

Kembali aku merasakan panas sekaligus perih dipipiku, ini cukup membuatku limbung dan pendengaranku berdengung.

Aku hanya mendengar sedikit teriakan-teriakan dua orang wanita mencegah orang yang disebut papa menghajarku. Perlahan dengan pandangan sedikit buram aku berjalan menaiki tangga menuju kamarku, setelah tiba aku segera merobohkan tubuhku diatas tempat tidur.

Siang tadi ketika aku akan pulang sekolah aku melihat Rasya didekat motorku entah apa maksudnya, aku yang enggan berdekatan dengannya memutuskan pulang bersama Yohanes dan dia tak keberatan, tapi menghindarinya agar tak mendapatkan masalah justru malah kesialan yang aku dapat.

Benci Dan Cinta (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang