Debaran

8.9K 334 3
                                    

"Sayang. Kamu suapin aku, dong."

Aku hanya menatap kosong, tak merespons Asyifa yang duduk tepat di hadapanku.

"Sayang? Kamu kenapa, sih? He ...." Asyifa meraih pipi kiriku, berusaha membuat wajahku memandang ke arah dirinya. Namun, aku menepis tangannya.

"Andra! Apa-apaan, sih, kamu? Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu nggak peduli banget sama aku!" Asyifa mulai bernada tinggi, membuat gendang telingaku nyaris pecah.

"Saya tidak apa-apa."

"Aku tahu." Asyifa menyipitkan kedua matanya, mencoba menebak apa yang terjadi dengan diriku. "Kamu sudah kena pelet, ya, sama sekretaris kamu itu?"

"Syifa! Apa-apaan kamu?! Jangan melibatkan orang lain! Bisa-bisanya kamu nuduh orang yang nggak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Saya cuma lagi capek! Dan kamu memaksa saya menemui kamu dalam keadaan seperti ini." Suaraku tak kalah tinggi.

"Oh, jadi begitu. Oke, aku akan laporin kejadian ini sama ayahku." Gegas perempuan itu berdiri. "Awas kamu, Ndra! Ini cuma peringatan, ya, buat kamu. Ayahku pasti akan memanggil kamu besok!" Perempuan tersebut berlalu pergi sebelum menghabiskan nasi goreng yang telah ia pesan beberapa waktu lalu.

Geram, kesal. Aku ingin melampiaskan perasaan ini pada apa pun di hadapan. Namun, aku sadar sedang berada di tempat umum. Orang-orang akan menganggapku gila jika melampiaskan emosi di sini. Aku pun memutuskan pulang dengan segala kegundahan yang menelungkup rasa.

Esoknya, Pak Hartono benar-benar datang ke kantorku. Lima menit sejak kedatanganku di kantor, pria berkacamata dengan rambut cepak cukup beruban tersebut duduk di sofa ruanganku.

Beliau pura-pura mengangkat koran yang terletak di atas meja, lalu membacanya. Membalik halaman per halaman. Sedangkan aku masih duduk di kursi kerja.

"Andra. Saya dengar-dengar kemarin kamu bertengkar dengan Asyifa, ya?"

Dasar wanita licik! Ia bersungguh-sungguh dengan perkataannya kemarin malam. Aku pun bangkit dan duduk tepat di hadapan pria tersebut.

"Maaf, Pak. Saya ... tidak bermaksud seperti itu."

"Apa kamu masih ingat konsekuensi kalau kamu membuat Asyifa terluka, Andra?"

"Iya, saya ingat, Pak."

"Kamu tahu kenapa saya akhirnya memutuskan investasi di perusahaan kamu? Semuanya karena Asyifa. Pertama kali saya bertemu denganmu waktu itu dengan Asyifa, dialah yang memohon agar saya mempertimbangkan proposal kamu."

"Iya, Pak. Saya mengerti," ucapku sambil membuang pandangan. Bagaimana tidak? Jika tua bangka ini marah, aku dan semua kekayaanku akan dipertaruhkan.

"Jadi, ini sebenarnya cuma peringatan buat kamu, Andra. Saya sangat percaya kamu itu bisa menjaga hati Asyifa." Pak Hartono meletakkan koran di atas meja. Ia bangkit dan matanya menembus pemandangan di balik jendela. "Dia memang anak yang manja dari kecil. Tapi, kamu harus percaya kalau sebenarnya dia sangat baik."

Aku hanya manggut-manggut. Apa pun yang tua bangka itu katakan, aku tidak pernah membantah, tidak pernah juga mencoba untuk melawan pendapatnya. Biarkan saja, aku masih bisa menahan kesabaran.

"Dan kamu harus siap kalau sampai kamu mengkhianati kepercayaan saya, Andra, siap-siap perusahaan kamu akan bangkrut."

Pria tersebut benar-benar serius dengan apa yang baru saja ia katakan.

"Iya, saya akan berusaha."

Dilangkahkan kakinya ke arahku, menepuk bahuku sebelum akhirnya keluar dari ruangan ini.

Aku mengembuskan napas lega, tetapi ada juga rasa kesal yang datang menghampiri.

"Berengsek!"

-II-

I AM YOUR BOSSWhere stories live. Discover now