Sebuah Omong Kosong Bernama Cinta

7K 305 1
                                    

Siapa sebenarnya pria di rumah sakit yang selalu dibesuk Tari? Hingga kini aku belum bisa mengambil kesimpulan. Seorang pria yang sepantaran denganku. Mulutnya dibalut infus, dan ia tampaknya tengah koma. Apakah suami perempuan itu? Tapi, aku pernah membaca salah satu dokumen di lamaran kerjanya, status Tari sama sekali belum menikah. Lalu, siapa dia?

Aku berusaha keras memikirkan perihal ini dari beberapa hari yang lalu. Jika aku bertanya pada Tari, sangat tidak mungkin, bukan? Dia pernah bilang bahwa aku tidak seharusnya ikut campur dalam urusan pribadinya. Lalu, hingga saat ini aku juga belum melaksanakan perintah dari tua bangka—Hartono. Sangat berat hatiku untuk memecat Tari. Jika alasannya bekerja di perusahaan ini adalah untuk membiayai perawatan pria di rumah sakit itu, dan aku memecatnya, maka sudah pantas aku disebut sebagai orang yang tidak berprikemanusiaan.

"Andra! Kenapa perempuan jalang itu belum juga kamu pecat?!" Asyifa nyelonong masuk ke ruang kerjaku. Ia terpekik menyatakan protesnya, sedangkan aku tak bisa berkata-kata. Aku hanya menatapnya dengan kerutan di dahi.

Aku tak bisa mengambil keputusan.

"Sekarang juga, aku mau kamu panggil perempuan itu ke sini! Kalau kamu nggak bisa memecatnya, biar aku yang melakukannya, Andra!"

"Asyifa! Kamu tidak punya hak memecat karyawan saya! Perusahaan ini milik saya. Saya bosnya! Kamu hanya putri dari salah satu penyumbang dana di perusahaan saya!"

"Aku nggak mau tahu!"

Asyifa melangkah keluar. Sekembalinya, ia membawa Tari sambil menyeret perempuan tersebut dengan paksa. Tari terlihat tidak nyaman. Namun, ia mungkin juga tidak bisa menolak perlakuan perempuan sialan itu.

"Ma-maaf. Ada apa, Nona? S-salah saya apa?" Tari bertanya.

Jelas saja. Kenapa dia harus terbawa dalam masalah pribadiku? Memang benar tidak semestinya hal ini terjadi.

"Diam kamu, Jalang!"

Tari bergeming setelah kalimat kasar keluar dari mulut Asyifa. Ia menundukkan wajahnya sendu, gugup, sesekali kulihat tangannya gemetar karena takut pada Asyifa.

"Sekarang, kamu pecat dia, Andra!"

Aku menggertakkan gigi. Asyifa sudah keterlaluan. Aku bangkit dengan lugas, melangkah ke hadapan Asyifa dan menatapnya lamat-lamat.

"Apa? Kamu mau marah? Silahkan marah, Andra! Kamu harus ingat, aku adalah kunci dari suksesnya perusahaan kamu!"

"Lepasin dia sekarang juga!" ucapku, tegas. "Saya tidak akan memecat Tari! Kamu tahu kenapa? Karena Tari adalah salah satu karyawan saya yang berprestasi!"

"Sialan kamu, Andra!" Tangan kanan Asyifa melayang menuju pipi kiriku, tetapi kemudian kutangkis dengan cepat.

"Perempuan tidak berprikemanusiaan kamu, Asyifa! Setan kamu! Kamu mau saya memecat orang yang butuh pekerjaan dan uang? Dia berusaha keras mencari uang untuk membiayai perawatan orang yang dia sayang di rumah sakit! Kamu mau saya jadi iblis seperti kamu, hah?! Saya tidak akan jadi setan seperti kamu!" Kulepaskan tangan kanan Asyifa yang tadi kugenggam. "Maaf saja. Saya tidak mau menuruti kemauan kamu dan ayah kamu si tua bangka itu! Saya punya harga diri dan kehormatan sebagai manusia! Tidak seperti kamu, Asyifa, yang hanya mengandalkan kekayaan orang tua kamu! Kamu tidak pernah tahu rasanya berjuang dari bawah."

Akhirnya, aku sudah tak bisa menarik kata-kataku. Benar-benar tidak bisa. Nasi sudah menjadi bubur. Tua bangka itu akan melakukan segala macam cara untuk membuatku bangkrut dan menjadi miskin.

Mungkin, aku sudah menghantam palung hatinya, Asyifa tak merespons hingga akhirnya dia melangkah pergi dari ruanganku tanpa sepatah kata pun.

Terlanjur sudah. Apa yang aku perjuangkan sebenarnya? Aku sadar bahwa aku hanya seorang budak dari si tua bangka itu. Aku menyesal telah menjalin kerjasama dengan dia. Pada akhirnya, aku tidak bebas, hakku dibelenggu Hartono.

I AM YOUR BOSSWhere stories live. Discover now