Pelik

7.1K 331 3
                                    

Beberapa hari ini, aku benar-benar tidak mood melakukan sesuatu. Semua pekerjaan sudah aku serahkan pada Tari, juga Damar selaku HRD. Meskipun hadir di kantor, aku hanya memangku kepala dengan tangan, menatap hampa, tak melakukan apa-apa. Tidak hanya itu, tetapi ketika berpapasan dengan Tari, aku sama sekali tak berniat menyapa dirinya atau menegur tentang segala hal seperti yang biasanya aku lakukan.

Kesalahan fatal. Aku tidak tahu perasaan apa yang sering datang akhir-akhir ini. Namun, seakan ambisiku pada perusahaan ini lenyap seketika. Aku juga tak peduli lagi jika Asyifa melaporkan pada ayahnya soal tindakanku beberapa hari lalu. Semua menjadi tidak penting.

"Pak?"

Tiba-tiba saja Tari ada di hadapanku, duduk sambil memiringkan kepala dan meneliti ekspresi wajahku.

"Kamu?! Kalau masuk seharusnya—"

"Saya sudah mengetuk pintu beberapa kali, Pak. Tapi, Bapak tidak juga menyahut. Maaf kalau saya lancang masuk sebelum diizinkan. Ini, ada beberapa berkas yang harus Bapak tandatangani." Tari menyodorkan beberapa dokumen di atas meja.

"Ya, akan saya tandatangani."

Meski begitu, aku sama sekali belum menyentuh dokumen-dokumen tersebut. Aku hanya menghela gusar dan berwajah datar. Bahkan untuk menyuruh perempuan di hadapanku ini pergi dari ruangan saja aku tidak mampu melakukannya.

"Semua pasti ada hikmahnya, Pak. Maaf kalau saya lancang. Tapi ... saya tahu apa yang Bapak rasakan."

Begitulah ucapnya tanpa pernah kuminta. Ia seperti berusaha untuk peduli pada seorang bos yang bahkan selalu menyusahkan, membentak dirinya tanpa ampun, melarangnya begini dan begitu. Apakah sikapnya bisa dikatakan wajar? Seharusnya dia dendam pada seorang Andra yang sudah bersikap tidak semestinya.

Sementara itu, aku tak menanggapi meskipun ada sebuah rasa lega yang hadir di hati.

"Saya permisi, Pak."

Tari beranjak pergi dari ruanganku, tetapi sebelum mulai membuka pintu, aku menghentikannya. "Tari!"

"Iya, Pak?" sahutnya pelan dan sopan.

"S-saya minta maaf."

Perempuan tersebut mengangguk beberapa kali dan tersenyum. Seperti biasa bahwa senyuman itu selalu saja bisa membuat perasaan aneh hadir di relungku. Apakah ia menggunakan semacam sihir? Atau entah apa itu aku tak tahu. Yang pasti, lengkungan di bibirnya begitu menenangkan.

-II-

"Halo, Pak Andra. Ini saya Pak Budi. Saya memohon maaf sebelumnya, tapi saya ingin mengatakan bahwa saya ingin membatalkan kerjasama kita terkait pembangunan dengan perusahaan Anda."

"Apa?! Membatalkan? Pak? Tidak bisa seperti itu, dong, Pak. Saya sudah mengurus semuanya dan mengeluarkan banyak uang untuk kerjasama ini. Kenapa Anda tiba-tiba membatalkan kerjasama kita? Ini tidak etis sama sekali!"

"Sekali lagi, saya mohon maaf, Pak Andra. Saya benar-benar tidak bisa melanjutkan kerjasama kita. Saya sudah tidak tertarik lagi untuk bekerja sama dengan Anda."

"Halo?! Halo?! Pak Budi! Hei, Berengsek!"

Satu telepon lagi-lagi kubanting dan rusak seperti sebelumnya.

"Berengsek!" teriakku sambil mondar-mandir di depan meja kerja.

Proyek kerjasama pembangunan yang seharusnya memberikan keuntungan besar bagi perusahaanku dan perusahaan si berengsek Budi, tiba-tiba saja ia batalkan tanpa alasan yang jelas. Semua ini seakan menikam tanpa alasan. Aku yakin sekali bahwa hal ini karena perusahaan kompetitor yang memberikan hasutan kepada dia sehingga akhirnya si Budi membatalkan kerjasama kami.

I AM YOUR BOSSWhere stories live. Discover now