Setegar Batu Karang

8K 333 4
                                    

"Saya butuh gaji saya bulan ini, Pak."

"Gaji? Tanggal gajianmu masih lama, Tari. Seminggu yang lalu kami sudah transfer melalui rekening bank kamu. Lantas, kenapa kamu meminta gaji lagi untuk bulan ini sebelum tanggal gajian?"

Tari duduk terpaku di hadapanku. Ia memijat pelipis. Alisnya yang lancip hitam terlihat berkeringat.

"Iya, saya tahu, Pak. Tapi ... saya butuh uang," ucapnya, pelan.

"Uang untuk apa?"

Aku menyipitkan mata, mencoba menyelidiki ekspresi wajah perempuan di hadapanku.

"Bapak tidak perlu tahu. Saya hanya ingin mengambil gaji saya lebih cepat karena saya sangat butuh. Saya janji akan bekerja lebih baik lagi."

"Tidak bisa!" Aku mendepak meja sehingga Tari terkejut, mengerjapkan mata, ia mengalihkan pandangan ke sembarang tempat. "Kinerja kamu bulan lalu saja menurun, Tari. Saya tidak percaya dengan janji kamu itu. Ketika seseorang berjanji akan sesuatu saat dia butuh, esoknya saat dia sudah mendapatkan apa yang mereka mau, mereka pasti akan melupakan janjinya. Saya yakin kamu adalah salah satu dari orang-orang yang seperti itu."

"Tolong, Pak. Berhenti menilai-nilai diri saya. Hanya saya yang tahu diri saya sendiri. Bapak tidak berhak untuk itu. Jika bapak tidak berkenan memberikan gaji saya, ya, sudah. Saya tidak memaksa, Pak." Tari berdiri. Tatapannya melotot tajam. Ia benar-benar marah dengan kalimat yang baru aku lontarkan. "Ingat, Pak. Anda hanya bos, pemilik perusahaan. Anda bukan Tuhan yang pantas menilai orang lain!"

Perempuan tersebut melangkah keluar dari ruanganku. Bukan kali pertamanya, tetapi Tari adalah karyawan yang paling berani melawanku di perusahaan ini. Tak ada karyawan seberani dirinya. Bahkan meminta gaji di awal atau kasbon pun tidak ada yang berani seperti Tari.

Aku heran, terbuat dari apa hati perempuan itu? Kenapa dia sangat berani melawan seorang pemilik perusahaan? Apakah dia tidak takut dipecat? Entahlah, pikiran-pikiran seperti itu satu per satu membuatku berpikir keras. Sikap dan sifatnya sangat berbeda dengan kebanyakan orang, lelaki maupun perempuan di luar sana.

Dalam beberapa bulan, sekitar tiga puluh orang mengundurkan diri karena tidak tahan dengan sikapku memperlakukan mereka. Namun, Tari sudah bertahan di perusahaan ini lebih dari tiga bulan. Ia paling tahu apa yang bisa saja membuatku marah. Namun, tetap saja ia masih melakukan kesalahan-kesalahan yang memicu emosi di benakku.

Aku mengembusan napas panjang, berusaha meredam segala emosi yang membuncah.

-II-

"Ini gaji yang kamu minta. Saya tidak tahu akan kamu gunakan untuk apa uang-uang itu, tapi berjanjilah untuk setia bekerja dengan saya."

Aku meletakkan sekumpulan uang yang telah kubungkus dengan amplop cokelat di meja Tari. Kemudian, kulangkahkan kaki untuk segera keluar dari ruangannya.

Namun, sebelum mencapai pintu, perempuan itu memanggilku, "Pak!"

Aku lantas membalikkan badan dan melihat Tari berdiri.

"Terima kasih banyak, Pak." Segurat senyum, juga rasa haru, tampak di wajahnya. Tak tahu diriku mengapa aku begitu senang melihat kurva indah yang terbentuk di wajah perempuan itu. Aku tak tahu mengapa jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya, juga darahku rasanya jelas mengalir.

Aku hanya mengangguk untuk menanggapi rasa terima kasih sang perempuan, lalu melangkah kembali ke ruanganku.

Sesuatu yang tidak pernah aku inginkan untuk terjadi ialah memberikan simpati berlebihan kepada siapa pun. Berawal dari perasaan itulah seorang manusia akan hancur oleh sebuah idealisme, entah mengapa aku beranggapan seperti itu setelah disakiti seorang insan yang dulu pernah kucintai dengan sangat. Rasa cinta dan kalimat-kalimat kesetiaan selalu ia ucap hanya untuk menenangkanku semata. Namun, sayang sekali semua itu melebur dalam satu rasa, yaitu kebencian tak bertepi. Hingga saat ini, aku membencinya.

I AM YOUR BOSSWhere stories live. Discover now