Pengakuan

7K 310 2
                                    

"Mau apa lagi Anda datang ke kantor saya?"

Hartono bertingkah semaunya, sambil merebahkan badannya di sofa, ia menyelonjorkan kaki sampai di meja, lalu membuka halaman koran hari ini. Sedangkan sedari tua bangka itu masuk ke ruanganku, Tari menunduk terlihat tak mampu mengangkat wajahnya.

"Saya hanya mau melihat kehancuran kamu, Andra. Karena kamu telah berani menyakiti anak saya, inilah akibatnya. Kamu pikir saya main-main dengan perkataan saya?" Hartono tertawa meremehkan.

"Sayangnya saya tidak peduli. Anda bukan satu-satunya orang kaya di dunia ini. Masih banyak yang lain. Masih banyak yang mau jadi penyumbang dana untuk perusahaan saya. Sekarang juga, saya minta Anda PERGI DARI SINI! Tua bangka iblis!"

Hartono beranjak sambil meremas koran hingga berbentuk bulat, lalu ia buang ke arahku dan tepat mengenai dahiku.

"Kamu dan perempuan jalangmu, Andra, sudah hancur." Tua bangka tersebut berlalu pergi.

Cukup lama terdiam, Tari mengangkat wajahnya. "S-sabar, ya, Pak ...."

"Tidak perlu. Saya tidak butuh belas kasihan kamu. Kembali ke ruang kerjamu!"

Tari mengangguk dan bernjak pergi.

Aku sudah merasa kalah dengan si tua bangka. Dengan cepat dan mudahnya ia menghancurkan usaha yang selama enam tahun kubangun dengan bercucur keringat hingga darah penghabisan. Begitu mudah ia menghancurkan hidupku. Padahal, dia tidak tahu apa artinya perjuangan hidup. Dia hanya memakan kekayaan keluarganya yang turun-temurun. Tak bersusah payah memperjuangkan sesuatu, tidak pernah merasakan kesengsaraan.

-II-

Sedari pagi hingga siang ini, aku hanya bergeming di ruangan. Makan menjadi tidak nafsu, kopi tidak lagi bisa kunikmati. Masalah pelik tentang karir dan ditambah lagi dengan gusarnya hati saat mendengar bahwa sebenarnya Tari sudah punya kekasih membuat diriku tidak lagi bisa menikmati hidup sebagaimana mestinya.

Tidak kumungkiri semenjak kehadiran Tari di perusahaan ini, hidupku terasa lebih menyenangkan. Seolah setiap bangun pagi dan berangkat bekerja, aku termotivasi untuk datang ke kantor. Dulu, aku begitu jarang ke kantor. Paling sesekali datang hanya untuk meminta laporan dari Damar atau Rani—sekretaris sebelumnya. Dan sekarang, seolah mataku tidak bisa sejenak saja berlibur dari rasa ingin melihatnya.

-II-

Enam tahun lalu.

Aku masih ingat betapa diriku tidak peduli dengan terik matahari saat bekerja sebagai tukang parkir di ruko-ruko pertokoan. Juga tidak peduli dengan malam yang menyelimuti, semakin larut dan terasa dingin menusuk tulang. Yang terpikir hanya bagaimana caraku untuk bisa mengumpulkan uang agar aku bisa menikah dengan Nadia—kekasihku waktu itu.

Di suatu pagi, setelah Nadia mengetahui profesiku sesungguhnya dan ia tidak mau bertemu lagi denganku, aku mencoba mengunjungi rumahnya.

Aku nekat saja dengan penampilan ala kadarnya. Dengan kaos berlengan pendek yang kupakai sedari tiga hari yang lalu, pun telah bercampur debu dan bau keringatku sendiri. Lalu jeans sobek-sobek yang membuat diriku seperti begundal miskin paling hina di mata manusia-manusia yang menganggap diri mereka terhormat.

"Mau cari siapa, Mas?" tanya seorang sekuriti di pintu gerbang rumah Nadia. Ia semringah sambil berwaspada akan hal-hal buruk yang dia pikir akan kulakukan, entah, mungkin seperti mencuri di kompleks perumahan ini.

"Saya ... cari Nadia, Pak. Apa benar di sini rumahnya?" kataku sambil mendekat ke arah gerbang.

"Iya, benar. Mas ini siapa? Kalau mau minta sumbangan, jangan di sini, Mas."

I AM YOUR BOSSWhere stories live. Discover now