Prolog

385 22 1
                                    

Alea tahu, sekitar tiga puluh menit lagi akan datang beberapa orang suster yang berpakaian serba putih kecuali sepatu mereka dengan mendorong tempat tidur untuk membawanya ke ruang operasi. Tentu saja detak jantungnya sangat tidak terkontrol saat ini, bahkan sejak semalam saat Alea mulai menginap di ruang rawat inap di rumah sakit ini.

Apa yang akan kurasakan nanti saat perutku mulai di sobek dengan menggunakan pisau bedah oleh dokter?

Apa aku boleh meminta ayah atau ibuku menemaniku di ruangan operasi?

Apa sesakit itu di operasi?

Bagaimana kalau ada hal-hal yang akan terjadi di ruang operasi nanti?

Pikiran-pikiran itu sejak semalam sudah menghantui kepalanya hingga membuat Alea tidak bisa tidur barang satu jam. Sebenarnya alasan Alea tidak bisa tidur tidak hanya karena memikirkan hal-hal itu, namun Ia juga menahan rasa sakit di perut bagian kanan bawah yang kadang terasa sangat perih dan kadang terasa biasa saja.

Di keluarga Alea, sudah banyak yang terkena penyakit yang sama dengan Alea. Penyakit Usus buntu dan harus di operasi. Termasuk ayahnya yang belum lama juga melakukan operasi usus buntu. Sepengetahuan Alea, Usus buntu bukanlah penyakit yang turun menurun, tapi karena pola makan dan hidupnya yang tidak sehat.

Dua puluh menit lagi sebelum jadwal operasinya berlangsung, Alea kembali mengecek ponselnya. Apakah ada pesan masuk atau tidak. Sebenarnya dari semalam, Alea juga menunggu pesan masuk dari seseorang. Tapi nihil. Tidak ada satu pesan pun yang masuk ke dalam ponselnya. Padahal Ia sudah memberitahu orang itu kalau Alea akan operasi hari ini jam tujuh malam. Besar harapan Alea kalau orang itu akan datang untuk sekedar menguatkan dirinya walaupun sudah banyak pula keluarganya yang datang untuk memberi dukungan kepada Alea di operasi pertamanya ini. Tapi orang ini berbeda bagi Alea. Seseorang yang belum menjadi bagian dari keluarganya, tapi terasa sangat spesial jadi kedudukannya seperti keluarga dalam hidup Alea.

Baru saja memikirkannya, Alea di kejutkan oleh notifikasi dari ponselnya. Nama dari seseorang yang ditunggunya itu muncul di layar ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan singkat. Alea bahkan sudah membayangkan seseorang itu sedang kebingungan mencari ruangan rawat inapnya di lantai satu. Alea senang bukan main, Namun sebelum Alea sempat membuka pesan itu, ruangan rawat inapnya diketuk lalu masuklah tiga orang suster berpakaian putih sembari mendorong tempat tidur ke dalam ruangan. Seketika rasa senang Alea berubah menjadi rasa cemas yang membuat detak jantungnya berdegup lebih kencang daripada sebelumnya.

"Pasien atas nama Alea, yuk sekarang ke bawah. Dokternya sudah datang." Ucap salah satu suster dengan ramah. Alea yakin suster itu mengatakannya sambil tersenyum walau sebagian mukanya tertutup oleh masker hijau dan hanya menampilkan kedua matanya yang sedikit menyipit.

Alea menekan dan menahan tombol power hingga ponselnya mati lalu meletakkannya diatas nakas tanpa membuka mulutnya sama sekali. Dengan satu tarikan nafas dan kedua bola matanya menatap para keluarganya yang juga ikut berdiri saat Alea berjalan perlahan ke tempat tidur yang akan membawanya ke ruangan operasi.

Tidak ada yang benar-benar Alea rasakan saat ia berbaring diatas tempat tidur dan di dorong oleh ketiga suster itu menuju ruangan operasi. Alea hanya menghitung detak jantungnya yang berdetak tak beraturan. Bahkan Alea saja tak sanggup menghitungnya saking cepatnya jantung itu berdetak.

Pikirannya kosong saat ia mendengar pintu ruangan operasi tertutup. Memisahkan dirinya dengan kehirukpikukan di luar ruangan operasi dan menggantikannya dengan keheningan di dalam ruangan operasi yang ternyata masih mempunyai anak ruangan lagi didalamnya.

Setelah mengganti bajunya dengan baju operasi, Alea digiring masuk kedalam salah satu anak ruangan dan disuruh untuk berbaring dibawah lampu besar yang menjulang diatas tempat tidur. Detak jantungnya masih tidak terkontrol sampai-sampai suster yang mulai memasangkan alat tensi di tangan kirinya sedikit tertawa dan mengatakan kalau tidak usah tegang. Tetap saja Alea tidak bisa mengatakan kepada jantungnya untuk tidak berdetak dengan sangat cepat.

Beberapa menit menunggu sembari melihat beberapa orang suster memasangkan alat-alat di tubuhnya yang Alea tidak tahu apa nama dan kegunaannya kecuali alat tensi dan infus. Sampailah saat seorang dokter yang mengenakan baju operasi lengkap dengan masker dan penutup kepala menyapa Alea dengan ramah. Alea menjawabnya dengan suara bergetar namun berusaha untuk tetap tenang.

"Saya suntik anestesi dulu ya," Ucap salah seorang suster yang membawa alat suntikan yang tidak begitu besar lalu menyuntikkannya tepat di tabung infus. Setelah disuntikkan cairan itu, Alea merasa tubuhnya menjadi berat dan sulit untuk digerakkan. Mata alea menjadi sedikit berat tapi tak sampai tertidur.

"Setelah saya pasangkan alat ini, langsung dihirup udaranya dalam dalam, ya!" Ucap dokter itu sembari memasangkan alat seperti masker oksigen ke wajahnya. Setelah terpasang, Alea lalu menghirupnya dalam-dalam seperti apa yang dikatakan dokternya. Dalam hitungan detik, Alea sudah tidak sadarkan diri.

Entah berapa lama Alea tidak sadarkan diri setelah operasi usus buntunya selesai. Yang Ia ingat adalah saat pertama kali membuka mata, dan sedikit sadar, sudah ada beberpa anggota keluarganya yang berkumpul di ruangannya. Mereka sedang ngobrol dan memakan camilan yang sengaja dibawa dari rumah. Dengan gerakan perlahan, Alea mengulurkan tangannya meraih ponsel diatas nakas disamping tempat tidurnya. Menghidupkannya lalu mengecek beberapa pesan yang masuk kedalam ponselnya. Ada tiga pesan masuk dari seseorang yang Alea tunggu. Senangnya bukan main. Lalu dengan sekali tekan, pesan singkat itu terbuka.

Aku lagi sama temen-temenku.

Aku belum bisa dateng.

Setelah membaca pesan singkat itu, Alea langsung menyadari kalau dirinya bukanlah orang penting dalam hidup seseorang itu.

Dan seseorang itu adalah Dewa.  

Draft 3 - Alea's BIGGEST SecretWhere stories live. Discover now