Paint a Mountain

47 11 0
                                    

Dua dunia berlawanan disini. Kebahagiaan dan kesedihan berasal dari dua kutub. Dunia yang satu adalah orang-orang disekelilingku. Hampir setiap saat dunia ini sangat familier untukku. Ini adalah dunia yang dipenuhi sinar hangat, kejelasaan, tangan-tangan yang tercuci bersih, dan sikap yang pantas di sini. Ini belum dimulai dengan bagian diriku yang belum menjadi berlawanan. Masih mengikuti dan berjalan di atas lintasan dunia yang ini. Iblis belum memberika stigmanya kedalam jiwaku.

Dalam dunia ini ada sebuah garis lurus dan jalan yang menuju masa depan. Ada kewajiban dan perasaan bersalah ketika melalaikannya, nurani yang bermasalah, pengakuan, pengampunan, rasa cinta dan hormat. Ini adalah dunia yang jika diikuti akan membawa kehidupan terang dan masa depan pasti, penuh kasih, cinta dan harapan.

Disisi berlawanan, dunia yang lain dimulai dari diriku. Disini berbeda dengan rasa dan aroma yang tidak sama, menjanjikan janji-janji dan tuntutan yang berbeda. Dalam dunia yang kedua ini ada cerita-cerita sedih melankolis. Ada beraneka ragam hal-hal menakutkan, menggoda dan membingungkan. Serta sebuah ketidakpemilikan di dalam semua langkah yang kuambil. Tidak ada jalan bercabang yang bisa kulalui untuk mencapai jarak yang terpendek. Semua yang dilalui adalah jalan panjang dan cerita yang rumit.

Semua hal yang indah sekaligus mengerikan hadir disetiap sudut nurani dan otakku. Dunia penuh mimpi yang terwujud tetapi tidak bisa menyentuh seutuhnya. Menyakitkan tetapi juga melegakan dengan sedikit perasaan seringan kapas. Tidak ada persembunyian seindah dunia ini. Banyak hal yang tidak terduga yang terjadi. Luar biasa dan mustahil, tetapi ada. Bayangan yang menjadi nyata. Terasa tidak masuk akal dengan semua jalan yang terdapat di dalam Alkitab yang selalu terbaca dan melintas di depan mataku. Dan memang tidak ada yang masuk di dalam akal sekalipun harus hidup untuk ribuan tahun kedepan.

Dan, hal yang paling ganjil dari semua hal tersebut adalah bagaimana kedua dunia itu berbatasan satu sama lain. Mereka sangat dekat. Hanya memiliki sekat setipis kertas. Bahkan sesuatu yang lebih tipis dari kertas itu sendiri. Mungkin. Dan juga mungkin, aku terlalu melankolis untuk menggambarkannya sebagai sekat yang terlalu tipis. Entahlah. Aku tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya.

Dan, bagaimana aku bisa hidup dengan sekat setipis itu adalah sebuah rahasia yang bahkan aku sendiri tidak tahu jawabannya. Ketika mencoba mencari jawaban, maka dengan segera langkahku akan terhenti di tempat. Otakku menjadi tidak dapat memikirkan semua hal yang masuk akal dan ilmiah. Tidak ada yang dapat terfikir secara logika. Tetap tidak akan ada jawaban. Hanya sebuah bayangan kosong yang menjadi jawaban dengan warna abu-abu.

Perjalanan ini dimulai di hari dengan cuaca cerah. Panas. Dan ada sedikit udara dingin yang berhembus. Jika dirasakan dengan sedikit perasaan, rasa dingin itu lebih menusuk daripada panas matahari yang sedang bersinar.

Saat itu usiaku tujuh tahun. Dan masa kanak-kanakku hampir selesai beberapa bulan lagi aku tidak ingat kapan pastinya akan berakhir. Dinding bata bertabur cat putih masih menyisakan aroma yang kuat dengan wangi pohon. Serta tidak lupa aroma hutan dibelakangnya.

Suasana di dalam kelas tidak bisa dikatakan tenang. Tidak juga berisik. Semua masih terkendali. Sama seperti jalan yang lurus itu. Ada dua guru perempuan di dalam. Mereka berjalan berkelilingi mengawasi dan mengamati pekerjaan para siswa yang baru berdetak beberapa menit yang lalu. Aku duduk di bangku paling belakang dengan seorang teman yang sedang sibuk menyelesaikan tugasnya dengan wajah gembira. Begitu juga semua orang di dalam ruangan ini, mengerjakannya dengan gembira.

Senyum sedikit mengembang di wajahku. Aku ingin menggambar banyak hal yang sekarang ada di dalam benakku. Tetapi buku gambar di depanku tidak memungkinkan untuk menampung semua sekaligus. Dengan sedikit gelisah, aku mulai berfikir dan memilah gambar apa yang akan kutuangkan dan kugoreskan di atas kertas yang masih kosong itu. Mataku memandang sekeliling, dan mendapati sudah banyak teman yang mulai menggambar. Mereka sibuk mencorat-coret halamn bersih mereka dengan bayangan yang mereka wujud nyatakan. Menggambarnya dengan penuh keriangan dan perasaa, yang jika kulihat ada beberapa anak yang merasa tidak senang, biasa-biasa saja dan merasa antusias yang menggambar dengan semangat yang meluap-luap yang terlihat walaupun tidak kentara didalam tingkah lakunya.

MAP OF THE SOUL: City of Dream (END)Where stories live. Discover now