The Last Gift

31 11 3
                                    


Disepanjang jalan yang kulalui, banyak hal yang terjadi. Terkadang melewati jalan yang terjal, jalan lurus, jalan yang menanjak naik dan tiba-tiba turun dengan curamnya. Jalan berlumpur terkadang juga muncul. Bahkan jalan buntu yang membuat kita harus kembali berjalan di jalan yang sama karena memutar balik arah untuk menemukan persimpangan awal dan memilih jalan yang benar. Tidak jarang juga harus melewati jalan yang kering dan berdebu untuk bisa sampai diujung jalan yang nyaman. Rasa lelah juga sering datng ketika kita masih berjalan. Menepi dan beristirahat untuk sekedar menemukan tempat berteduh dan menghirup oksigen untuk mengisi paru-paru. Memperpanjang umur dengan sedikit perasaan bahagia yang melegakan.

Dan disepanjang jalanku, aku selalu menemukan persimpangan tiga jalur. Yang melambangkan tiga dunia. Didalam keluargaku, dunia ketiga bukanlah hal aneh yang mengejutkan. Semua pernah melangkah kesana. Dan bahkan masih melangkah di sana. Penuh mitos yang dianggap sebagai misteri dunia. Legenda yang tanpa sadar menjadi satu. Dunia ini berada dibalik dunia normal yang penuh kesopanan, nyata, indah, umum dan berjalan sewajarnya. Dunia penuh dengan kengerian dan ketakutan. Tetapi hal itu sudah biasa untukku.

Orang-orang di desa ini menganggap hal itu sebagai anugrah yang menakutkan. Dikutuk. Seperti itu yang selalu ditangkap telingaku dan bahkan terdengar ketika aku berjalan dan beristirahat di jalan itu. Bukan hal yang mudah dan bisa diterima oleh anak seusiaku waktu itu.

Agar semua baik-baik saja dan terlihat normal. Belajar menipu diri sendiri agar orang lain tertipu. Menampilkan pertunjukkan yang disukai orang lain dan membuatmereka terhibur sehingga merasa baik-baik saja ketika berada di sampingku. Berharap dengan sedikit kebohongan, stigma akan hilang. Tetapi tidak. Selama kau masih disini dan diam di tempat ini, stigma itu akan tetap ada.

Bertahun-tahun hidup diantara tiga dunia yang berbeda. Mencoba menyeimbangkan semua, tetapi sia-sia. Selalu ada salah satu yang timpang. Harus memilih satu diantara tiga. Dan hidup dengan baik disana. Tetapi waktu itu aku tidak bisa. Selama bertahun-tahun dalam kurun waktu tujuh tahun, aku beristirahat dan berteduh dijalan yang suram dan mengerikan. Dak aku sudah terbiasa. Sampai sesuatu yang tidak biasa datang.

Melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang lain terkadang sedikit membingungkan dan membuatku berada diposisi sebagai orang aneh yang dikutuk. Mungkin ucapan orang lain tentangku lema-kelamaan menjadi nyata dan menyatu dengan diriku. Aku tidak bisa menutup mata setiap detik dan bahkan tidak bisa mengabaikannya. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun, bahkan diriku sendiri. Ini yang membuat keseluruhan diriku terluka. Dari sinilah perlahan-lahan peta jiwaku mulai tertutup topeng dunia. Luka mulai timbul dengan awal sayatan stigma kecil yang tidak bisa dihapus seumur hidup ketika aku masih memiliki lintasan untuk berjalan.

Di tempat ini, aku hanya bisa diterima disatu tempat. Rumahku. Ketika aku melai melangkah masuk melewati ambang pintu masuk, semua stigma hilang jelek hilanh begitu saja seperti asap. Disini semua sama dan normal untukku. Dari semua keluargaku, hanya kaau yang tidak bisa bersembunyi di jalan itu. Aku seperti buku yang terbuka. Jelas dan mudah terbaca. Tetapi itu hnayan sampai ketika sebelum semua jatuh seperti hujan dengan sebuah jiwa yang menjadi abadi dan tinggal di dalam kenangan.

Cukup sampai disini perasaan melankolis tentang dunia ketigaku. Aku akan menceritakan hari terakhir ketika aku akan pergi meninggalkan jalan itu. Hari dimana ketika kau melangkah menjauh dari persimpangan itu. Dan meninggalkan jalan dan menghadapi dunia yang lebih buruk lagi dari dunia ketiga itu.

Wajak, 2005

Dirmah besar dengan enam orang penghuni yang terdiri dari bapak, ibu, kakak perempuan, aku, adik laki-laki, dan seorang adik perempuan berusia dua tahun. Sebenarnya tujuh bersama denga kakak laki-lakiku, anak pertama dari bapak dan ibu, tinggal diasrama di sebuah sekolah di Probolinggo. Dan rumah ini cukup luas untuk enam orang, membuat suasana sedikit hening. Rumahku menghadapi ke arah selatan. Bentuknya, untuk ukuran orang desa merupakan rumah yang tidak sederhana, tetapi juga tidak mewah dan megah. Pada saat itu. Disebelah timur berdiri rumah tetangga. Arah utar dan barat merupakan kebun deangan masih banyak pohon-pohon besar. Dan yang paling besar dan tinggi berada dibelakang rumah. Tumbuh diantara rumahku dan tetangga timur.

MAP OF THE SOUL: City of Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang