City of Dream

21 12 0
                                    

Aku terlalu putus asa. Dan aku lelah merentangkan sayap untuk mencoba terbang. Semua bulu- bulu satu persatu lepas, berhamburan di angkasa. Menghiasi langit dengan kulaian lemah, patah. Aku lelah berubah menjadi putih terang. Berubah menjadi cahaya putih yang selalu memahami orang. Lelah menjadi sinar yang menghangatkan orang lain, tetapi diri sendiri kedinginan, terpuruk dan hancur. Ingin dipahami tetapi tidak tahu bagaimana cara untuk mengungkapkannya.

Aku tidak memiliki kebebasan dengan semua belenggu dan kemerdekaan yang tersekat. Menjadi bebas bukan pilhanku ketika aku masih seperti ini. Dan aku tidak bisa memilih karena rantai yang mengikat kakiku ini. Aku lelah menulis bahwa aku tidak mempunyai pilihan. Aku juga lelah menulis kata- kata lelah yang sepertinya tidak bosan kutorehkan di atas kertas. Aku seperti pencipta dari kata- kata yang ku benci itu. Dan aku juga muak dengan kata- kata benci yang selalu mewakili perasaanku yang tidak bisa kuungkapkan dalam suara, tetapi kuungkapkan dalam kata- kata. Aku seperti seorang pencipta dari kata-kata buruk yang ada di dunia ini. Aku seperti semua hal buruk yang berada di dunia ini. Semua hal buruk yang ingin dihindari dunia. Aku adalah hal buruk, begitulah sesuatu di dalam kepalaku, yang selalu memperingatkanku ketika aku mulai ingin menjadi sesuatu yang terang, berbicara.

Sekarang, aku akhirnya juga menggunakan kata lelah itu. Aku lelah mencoba untuk semua hal yang sebenarnya bisa kuraih dan kumiliki, tetapi selalu gagal untuk ku genggam. Keringat terakhirku untuk semua hal memuakkan ini, menetes. Kusudahi dan kuakhiri, seperti aku megakhiri sebuah cerita. Menggantung di udara. Kusimpan bersama tetesan air mata terakhir yang meruntuhkan semua harga jiwaku yang ku pertahankan untuk selalu tinggi, melebihi lambungan udara. Dan, darah yang mengalir di seluruh tubuh, menolak untuk terus melakukan semua hal- hal bodoh yang berbau terang dan baik ini. Keringat, air mata dan darah membeku menjadi satu. Membentuk sebuah permata merah hitam yang indah, indah dengan semua penolakkan dan smua pemberontakkan yang ada di dalamnya. Berhiaskan pola- pola rumit tentang perjalanan yang terlalu panjang dan terlalu tidak masuk akal.

Jiwaku melayang- layang di angkasa tanpa arah. Tanpa tujuan. Melintasi setiap ruang hampa yang melucuti semua perasaan yang tersisa yang masih kumiliki. Semua yang tersisa, lepas begitu saja seperti bulu- buluku yang terjatuh dan melayang. Tidak bisa melaukan penolakan yang berarti. Tidak bisa melawan dengan kekuatan yang sudah menghilang. Tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya diam.

Aku terus diam, dan menikmati setiap perasaan yang mulai terlepas itu. Menikmati setiap rasa sakit yang menggerogotiku seperti rayap. Hingga akhirnya, gravitasi tiba- tiba datang dan menarikku. Dan aku meluncur begitu saja. Jatuh dengan menabrak seluruh lapisan udara yang membuat beku lapisan luar tubuhku. Jatuh dengan keras dan menjadi hancur. Aku bagian dari debu sekarang. Tidak memiliki perasaan. Semua perasaan tertingga di dalam ruang hampa di angkasa. Melayang- layang diantara lautan ribuan bintang dan waktu ratusan ribu juta cahaya. Kesakitan adalah aku, dan aku adalah aku. Aku debu yang menumpuk, tertimbun menjadi batu sekarang. Aku tidak bisa tersenyum. Karena senyum itu dari awal bukan miliki. Aku tidak tahu apa yang menjadi miliku di dunia ini sekarang.

Aku jatuh dan tenggelam di tengah- tengah lautan ketidak berdayaan. Rasa sakit dan penderitaan yang menjadikanku penyair. Mereka berdiri di sisiku setiap waktu ketika aku menghembuskan nafas untuk bertahan hidup. Mereka mengikatku bersama mereka. Menjeratku dengan banyak kenangan menyakitkan dan semua masa lalu yang tidak ingin ku ingat lagi. Dan tidak ingin kumiliki. Aku sudah sampai di dasar dan aku benar- benar tenggelam. Terkubur bersama ratusan bahkan ribuan kehampaan. Aku tidak bisa merasakan apapun. Bahkan setitik cinta. Mataku terpejam. Aku tidak dapat bangun lagi kali ini.

Mengharapkan sebuah keajaiban yang akan membawa kebahagiaan. Tetapi yang kudapat hanya sebuah harapan kosong yang hampa. Harapan yang melayang-layan tanpa arah dan tidak memiliki tujuan. Bayangkan saja sebuah daun yang jatuh di luar angkasa dan mendekati big hole, lubang cacing.

Aku hampir mencapai akhir dari bab tentang kenangan masa lalu ini. Aku menceritakannya hingga detail. Mengingat setiap detiknya yang membuatku kembali terhempas dan jatuh terjerembab ke atas tanah masa lalu yang tidak ingin kuingat lagi. Dan, yang membuatku heran bukan hanya bagaimana aku bisa bertahan dengan kondisi perasaan yang seperti itu, tetapi juga bagaimana aku bisa mengingat bagian- bagian yang menyedihkan, seakan- akan aku tiak ditakdirkan untuk hidup di dalam kehangatan dan cinta. Terabaikan.

Menulisnya membuatku kembali terbawa ke dalam ingatan- ingatan buruk. Mengharuskanku menulis dengan mengikuti aliran sungai emosi yang membuatku merasa seperti tersakiti kembali. Bukan hal mudah untuk tidak kembali tenggelam ke dalamnya. Bukan hal yang mudah juga ketika kembali mengingat betapa pahit dan manisnya kecupan iblis itu ketika mengecupku, memberi tanda dan tidak melepaskannya dengan mudah.

Menjadi stigma yang perlahan menjadi bekas luka yang tidak bisa hilang. Menulis ini seperti memanipulasi luka, yang semakin memicu timbulnya luka yang lama untuk kembali menampakkan diri. Luka yang mulai mengering dan hampir tidak terlihat, walaupun tidak hilang, itu kembali muncul. Terus memanipulasi dan memanipulasi lagi. Menggaruknya dengan tangan yang juga penuh stigma, dan hasil akhirnya adalah luka itu tidak pernah sembuh. Bukan akhir yang diinginkan.

Anggap saja sebagai kenangan masa yang lalu dengan piagam indah yang terasa pahit ketika tergenggam tangan. Jalan termudah, agar ketika menggengamnya tidak terlalu berat dengan beban ringat tetapi mengumbar bau asap yang akan melekat.

Anggap saja cerita baru akan dimulai lagi. Walaupun iblis masih menyisakan bekas kecupannya. Anggap saja semua hanya sebuah angin yang selalu bertiup di sekelilingku membungkus dan menyelimutiku seperti kabut tipis di pagi hari.

Kembali kepada saat yang seharusnya menjadi bagian dari bab ini. Di mulai dengan ketika aku menginjakkan kaki di atas tanah asing. Sebuah rumah asing. Orang- orang asing. Dan semua yang beraroma tidak sama dengan aroma yang sudah terbiasa tercium oleh indra penciuman jiwaku, dan semua rasa asing yang tidak bisa dijelaskan.

Membawa segerombolan perasaan canggung yang tidak pernah kumiliki sebelumnya. Aku menjadi sesuatu yang asing di tengah- tengah kerumunan lautan manusia yang berjalan dengan semua hiruk pikuk dan juga segala kekacauan yang lain. Yang menjadi rutinitas. Dan entah mengapa yang seperti itu menjadi rutinitas. Hal aneh bagiku yang baru saja merangkak diantara kilauan warna dunia ini, tetepi sudah biasa untuk mereka. Bahkan sangat bisa dari kata biasa itu sendiri.

Ketika pertama menginjakkan kaki, aku sudah merasakan sebuah awal ketidak cocokkan dan ketidak sepahaman. Dan ketika mengalaminya, dengan berdiri ditengah- tengah kerumunan itulah, aku mulai merasa salah tempat. Mulai merasa serba salah ketika hanya menggerakkan ujung ibu jari. Aku tidak berani untuk bergerak lebih jauh lagi. Takut jika iblis akan kembali mencariku dan mengecup jiwaku lagi. Tetapi seiring waktu yang berjalan melintasi jalanku, aku menyadari bahwa sebenarnya aku adalah bagian dari tanda itu. Tanda kecupan yang tidak bisa hilang. Itu masih nanti ketika aku mulai dengan perlahan sadar. Saat ini aku belum menyadarinya.

Bermain di dalam kota impian milik sang iblis. Merasa nyaman dan memiliki. Bersandingan dekat dengan kota impianku sendiri. Kota mimpi tempat aku memiliki segalanya. Aku jatuh dan tidak tahu kapan akan bangkit.

Tetapi kisahku tidak hanya sampai di sini. Ini hanya bagian dimana saat dan ketika iblis mulai memberiku stigma dan kecupan yang menjadi tanda seumur hidupku. Memejamkan mata dan tertidur. Entah kapan akan bangun lagi.

MAP OF THE SOUL: City of Dream (END)Kde žijí příběhy. Začni objevovat