Fall Like Rain

21 12 0
                                    


Badai hebat baru saja berlalu. Dan coba bayangkan sebentar bagaimana badai terjadi dan seperti apa bentuknya. Bayangkan bagaimana dahsyatnya badai menghancurkan walaupunya hanya, dan jika hanya sebuah badai kecil. Itu masih akan meninggalkan bekas dari badai yang ditimbulkan.

Badai pasti berlalu. Pasti. Dan memang sudah pasti dan harus. Tetapi butuh waktu untuk memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya. Entah itu satu detik, satu menit, satu jam, satu hari, satu minggu, satu bulan atau bahkan membutuhkan tahun -tahun yang akan terlewati dengan semua perbaikan yang diperlukan. Membutuhkan usaha dan tenaga serta pemikiran yang terkadang sulit dan melelahkan.

Setelah badai itu berlalu dan menyisakan aroma udara yang perlahan tercium hidung, merupaka campuran semua rasa putaran kehidupan, langit kembali berwarna hitam. Berkumpul menjadi satu dengan bendungan -bendungan air yang dibawa di dalamnya. Seperti yang sudah diketahui peradaban manusia yang semakin berkembang tentang alam, darimana asal dan bagaimana bisa bendungan -bendungan air di dalam awan itu bisa berada disana. Itu adalah bagian dari siklus kehidupan dunia yang akan terus terulang dan berputar dengan alur yang sama. Masalah yang sama. Tidak ada perbedaan yang mencolok. Mungkin perbedaannya bisa dilihat dari siapa yang sedang menjalaninya.

Kesedihan yang dipanaskan dengan kehancuran membuatnya menjadi uap dan melambung ke atas. Evaporasi dunia yang semakin tinggi dalam jumlah yang tidak bisa dibayangkan. Menjadi uap -uap pemikiran dengan berbagai situasi buruk dari yang terburuk. Menyatu dan bersembunyi dibalik awan hitam. Menunggu waktu dan saat yang tepat untuk menjatuhkannya dan menjadikannya butiran -butiran badai kecil yang terselubung di alam tete -tetes air.

Setelah mengalami tenggelam di dalam kenangan tanpa merasakan apapun. Perlahan waktuku untuk tumbuh mulai terbentang di depan mata. Memberiku jalan lebar yang perlahan -lahan mengerucut menjadi sebuah jalan kecil yang disebut dengan jalan setapak.

Tahun baru di tahu dua ribu enam baru saja terlewat beberapa bulan yang lalu. Sangat jauh jika dihitung hari. Tetapi musim hujan masih belum terlewati spenuhnya. Awan -awan hitam masih terllihat bergantungan di atas sana. Tidak memberi kesempatan untuk matahari. Dia hanya bisa diam di balik awan tanpa terlihat, tanpa mempunyai pilihan. Sama seperti tahun lalu, ketika sebuah nama tenggelam dan menjadi ingatan yang terkadang diingat tetapi juga terabaikan. Menjalani lebih dari satu tahun dan tahun -tahun berikutnya mengapa nama itu tenggelam. Belajar dan paham. Tetapi masih tetap tidak dapat memahaminya.

Tetesan pertama jatuh kepada kakak laku -lakiku. Masa depan terhenti di depan matanya. Dia tidak melanjutkan jenjang pendidikannya setelah sekolah menengah pertamanya. Aku tidak bertanya mengapa. Aku bukan apa -apa dan belum ingin menjadi apapun. Dan aku memang tidak peduli. Aku sibuk untuk mengamati dan tidak mempunyai waktu untuk berhenti dan bertanya.

Aku ingat hari dimana kakak laki -lakiku memutuskan untuk pergi dari rumah. Dan hanya kembali ketika merasa perlu untuk kembali. Rumah seakan bukan rumah. Bukan tempat untuknya meletakkan kaki dan merebahkan kepala. Aku ingat hari dimana ibu sudah menyiapkan segalanya untuknya. Menyiapkan masa depan yang akhirnya tidak pernah dia sentuh. Masa depan yang dia abaikan seperti menghalau angin lalu. Terasa sia -sia. Aku juga ingat baju biru seperti tukang sapu pasukan kuning jalanan. Baju yang menentukan masa depan untuk melangkah ke jalan yang lebih baik. Waktu itu aku tahu jika ibu menyembunyikan perasaannya yang terluka. Tetapi apa yang bisa dia lakukan untuk menaklukan anak laki-lakinya yang keras kepala. Menghela nafas berat adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk melepas kekecewaannya yang terasa menusuk. Raut wajahnya tidak bisa kubaca dengan mudah karena itu juga baru untukku. Baru kulihat dari wajah ibu yang selalu terlihat bahagia. Kehidupan kami sangat sederhana dengan kesederhanaan yang sederhana.Dan dari wajah ibu, itu menunjukan bahwa dia juga mulai terkena tetesan air itu.

MAP OF THE SOUL: City of Dream (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang