So Far Away

26 12 0
                                    


Waktu masih membalik halaman buku yang telah dibakarnya. Tetapi tidak ada yang tersisa. Hanya abu yang berhamburan seperti debu. Tertiup angin kehidupan begitu saja. Ingatan masa lalu yang selalu kuingat. Aku membuat sebuah lemari besi di dalam sebuah wilayah di dalam peta jiwaku. Di sebuah wilayah yang kuharap tidak dapat ku temukan lagi. Aku menyimpan semua kenangan masa lalu di sana. Berharap dengan menguncinya di sana, semua akan menjadi lebih baik. Tetapi yang ku dapat selalu yang lebih buruk.

Kebenaran selalu lebih menyakitkan. Mengapa harus ada kebenaran? Dunia memerlukannya. Tetapi aku tidak berharap untuk membutuhkannya. Itu hanya membawa luka yang luka yang lebih menyakitkan dan akan semakin lebih menyakitkan lagi. Aku membencinya dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Dan diungkapkan. Membuatku tidak hanya tergores tetapi menyimpan stigma yang selalu melekat sampai kepada sumsum tulangku. Menyatu dengan aliran darah merah yang mengalir. Yang tidak akan pernah hilang.

Ini semua mengguncang jiwaku. Menimbulkan gempa di dalamnya. Menyebabkan beberapa wilayah jiwaku hancur dan terluka. Rehabilitasi tidak bisa dengan mudah dilakukan. Dan memang selalu tidak ada yang mudah tanpa harus mengorbankan sesuatu.

Banyak hal yang ingin ku katakan. Banyak peristiwa yang mengganjal hatiku yang ingin ku ungkapkan menjadi untaian cerita yang menyedihkan. Banyak hal yang ingin kutumpahkan. Dan masih banyak lagi dari yang banyak dari bagian diriku ingin mengalir keluar dengan bebas.Tetapi banyak dari banyak itu, siapa yang akan memberi sedikit perhatian? Hanya diriku. Aku. Jadi percuma jika berfikir akan ada yang menoleh, dan bertanya.

Aku memejamkan mata. Berharap dapat tertidur dengan nyenyak dan memimpikan mimpi yang indah. Yang terjadi malah sebaliknya. Lemari besi itu terus muncul. Tidak bisa membiarkanku tidur dengan sedikit mimpi indah. Mengikutiku seperti bayangan di belakang punggungku. Menhantuiku dengan kilatan- kilatan masa lalu yang menjerat leherku dan menggerogotiku dari dalam. Sebuah keirian dan keserakahan masa lalu yang terus merongrong masa depan dan jalan yang akan kutempuh.

Aku menutup mata. Sama seperti yang sering kulakuakan. Merasakannya dengan perasaan yang mulai memudar. Berharap semua akan baik- baik saja. Tetapi kali ini ada yang berbeda. Aku mulai merasakan sebuah ketakutan yang tidak jelas dari mana asalnya. Ketakutan bahwa ketika aku mulai membuka mata, semua masih tetap sama. Aku takut membuka mata dan melihat kebenaran yang terus menjadi nyata.

Aku memutuskan untuk melangkah dengan mata tertutup. Mencoba membiarkan mimpi yang membimbingku. Merasakan setiap langkah dengan semua perasaan yang kupikir masih kumiliki. Merasakan setiap degupnya yang mulai menjadi satu denganku. Aku mulai menjejakkan kaki dan terus melangkah. Berjalan dengan hanya mengharapkan kepercayaan yang semoga tiak teringkari.Aku tidak tahu akan sampai dimana langkah kakiku akan berhenti dan tinggal.

Aku berfikir dan mulai menghitung apa yang masih kumiliki sekarang. Nihil. Sebuah kenihilan yang akhirnya kutemukan. Tidak ada. Dan benar- benar ketiadaan dari kata ketidak adaan itu sendiri. Aku hampir menangis. Tetapi sesautu mencegahnya di tempat. Salah satu dari bagian dari sana membisikkan suara yang terdengar seperti 'sekrang bukan waktunya untuk menangis, semua hanya menjadi sia- sia'. Aku mencoba membuka mata. Tetapi semua tetap sama. Di dalam maupun di luar. Hanya ada ketiadaan yang menyiksa.

Mencari dan tidak menemukan. Aku terus berputar dan datang di tempat yang sama. Terlihat mudah tetapi membingungkan seperti labirin. Sekali melangkah masuk , sulit menemukan jalan keluar, bukan tidak bisa keluar. Aku terjebak di ujung jalan buntu tanpa lintasan mulus. Dihadang tembok kesepian berpalang ketidak adilan yang meremukkan.

Perlahan- lahan aku mulai kehilangan. Aku tidak mempunyai apa-apa dan siapapun yang berdiri di sampingku. Semua semakin menjauh. Ini semua terasa menyebalkan. Aku juga tidak mempunyai apapun untuk dilakukan. Aku tidak mempunyai mimpi. Malah sebaliknya, mimpi itu yang menjadikan aku miliknya. Aku tidak bisa membalik keadaan dengan hanya membalikan tangan. Dan simsalabim, keadaan akan berbalik dengan sendirinya. Aku bukan penyihir. Juga bukan pahlawan yang memiliki kekuatan super yang mampu melakukan apapun. Aku bukan pahlawan yang bisa melindungi orang lain, bahkan untuk melindungi diriku sendiri saja aku tidak bisa dan tidak mampu.

MAP OF THE SOUL: City of Dream (END)Where stories live. Discover now