TPOL (45) "Sebuah Fakta?"

115 7 0
                                    


Setelah Ify pamit untuk ke kamar mandi, Cakka dan Shilla sekarang duduk berhadapan. Keduanya masih belum ada yang mau memulai bicara, tapi tatapan mereka tidak mau lepas. Bukankah ini kesempatan mereka agar bisa berduaan? Entahlah, keduanya masih diam membisu. Tapi, tidak ada yang tahu saja jika jantung mereka sama-sama berdetak lebih kencang dari biasanya.

"Apa?"

Shilla mengerutkan dahinya, pertanyaan Cakka membuatnya heran. Padahal tidak ada yang nanya, tapi cowok itu tiba-tiba menjawab 'apa'. Shilla menoleh ke kanan dan kiri, lalu membalikan kepalanya ke belakang. Tidak ada juga perasaan yang nanya sama Cakka, tapi kenapa cowok di hadapannya ini seolah ada yang nanya sih heran.

Karena penasaran akhirnya Shilla memutuskan untuk bertanya.

"Ngomong sama siapa sih kak?"

"Sama lo."

"Hah, sama gue?" tanya Shilla.

"Iya," jawab Cakka santai.

"Persaan dari tadi gue diem deh, gak ngomong apa-apa."

"Tapi hati lo ngomong tuh sama gue, kalau cowok yang ada di depannya ganteng banget," ucap Cakka dengan pede.

Shilla tertawa, "Sok tau."

Cakka tertawa, matanya terus saja melihat Shilla. Melihat keindahan yang diciptakan Tuhan memang sangat luar biasa, Shilla begitu menggemaskan.

"Ohiya Ify mana ya? kok lama?" tanya Shilla.

"Baguslah."

"Kok bagus sih? gimana kalau Ify hilang?"

"Ya bagus dong, jadi gaada yang nganggu."

"Ih dasar!" Shilla tertawa, menutupi perasaan gugupnya.

"Ohiya, lo tau gak? Tadi gue disuruh Ify buat anterin dia buat ketemuan sama temennya. Sebenernya gue males, Cuma karena Ify selalu baik sama gue, akhirnya gue anterin dia deh ke sini. Dengan iming-iming gue bakalan beliin dia ice cream juga. Pas di di jalan, tiba-tiba dia berhentiin gue di kedai Ice Cream. Awalnya gue kira dia bakalan nagih janji gue buat beliin dia ice cream, eh ternyata emang dia janjian di kedai ice cream sama temenya."

"Terus?" tanya Shilla.

"Terus gue sebel sama temennya karena udah ajak adik gue makan ice cream malem-malem," lanjut Cakka.

Shilla melipat kedua bibirnya, menundukan kepalanya. Dirinya merasa bersalah atas ucapan Cakka tadi. Seharusnya tadi ia tidak keukeuh buat ngajak Ify beli ice cream. Jadi nyesel gini kan jadinya.

"Maaf," kata Shilla.

"Kok minta maaf?" tanya Cakka.

"Udah ajak Ify beli ice cream malem-malem."

Cakka tersenyum, sesekali terkekeh membuat Shilla heran, "Kok ketawa?"

"Lucu."

"Apanyanya yang lucu?"

"Lo."

Diam-diam pipi Shilla memerah seperti kepiting rebus. Shilla gak kuat diginiin, pengen cepet-cepet pulang, masuk kamar terus teriak sekencang-kencangnya ngeluapin rasa gugup ini.

"Apaan sih kak Cakka," ucap Shilla malu-malu. "Tapi gue serius deh kak, maaf udah ajak Ify ke sini dan buat kak Cakka khawatir."

"Gapapa, malah gue seneng," balas Cakka dengan senyum mengembang, Shilla mengerutkan keningnya. Loh Cakka bilang tadi gak suka, kenapa sekarang malah seneng.

"Seneng?"

Cakka membenarkan posisi duduknya, ia menatap Shilla serius. Membuat yang dilihat pun tak sanggup untuk menatapnya, "Gue seneng, karena orang yang ajak adik gue beli ice cream malem-malem itu lo."

"Hah?"

"Jadi gue gak jadi sebelnya, karena gue suka bukan sebel." Jawab Cakka santai, namun serius. Shilla tahu maksud pekataan Cakka yang di lontarkan itu, tapi ia tidak mau kegeeran dulu.

"Apaan sih gak jelas." Shilla tertawa.

"Gue---"

"Misi-misi, belum pesen juga?" ucapan Cakka terpotong, saat Ify kembali ke mejanya. Cewek itu duduk di sebelah Cakka.

"Belum," kata Cakka malas.

"Kenapa? Nungguin gue? Padahal pesen aja." Ify tersenyum pede.

Cakka memutar bole matanya malas, "Dih males banget nungguin lo, ganggu aja."

"Hah?" Ify tidak mengerti maksud perkataan Cakka.

Shilla menatap tajam Cakka untuk tidak menjelaskan perkataannya.

"Yaudah Fy, pesen yuk!" Dengan cepat Shilla mengalihkan pembicaraan Cakka, ia tidak mau Ify menyangka yang tidak-tidak nantinya.

"Yuk!"

*****

Di meja lain Ray dan Cantika sedang meikmati ice cream yang mereka pesan beberapa menit yang lalu. Keduaanya tampak asik menikmati ice cream itu. Apalagi Ray, cowok itu emang penikmat ice cream, tadi saja setelah makan malam bersama keluarganya, Ray merengek pada Cantika agar menemaninya untuk makan ice cream di salah satu kedai yang sangat ramai itu.

"Kak Ray!" panggil Cantika.

"Apa?"

"Kak Ify Cantik, pantes aja kak Ray suka."

"Gak." Jawabnya datar.

"Loh kok nggak sih?"

Ray menaikan bahunya acuh. Ia sendiri bingung kenapa tadi bilang seperti itu?

"Masih takut dengan sebuah fakta kalau kak Ify suka kak Ozy?"

Perkataan Cantika membuat pergerakan makan Ray terhenti. Cantika yang di tatap oleh Ray, membalasnya dengan tatapan acuh dan santai. Sedangkan cowok itu masih terdiam, entah apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia sediri masih belum yakin dengan perasaan yang sebenarnya.

"Gak juga," jawabnya datar.

"Terus?"

"Gue masih bingung dengan perasaan gue sebenernya Can, antara gue bener-bener suka sama dia atau nggak."

"Kenapa gitu?"

"Lo tau, pertemuan awal gue sama dia itu emang gak baik. Terus seiring berjalannya waktu gue sering ketemu sama dia, dari situ perasaan gue udah berubah."

"Berubah gimana?"

Belum sempat Ray menjawab, seseorang telah memanggilnya dari arah belakang.

"Ray lo di sini?"

Ray dan Cantika mendongak ke arah cowok yang memanggil namanya tersebut.

"Lo ngapain di sini?" pertanyaan Ray membuat Ozy terkekeh.

"Lo lupa kalau gue sering ke sini?" ucap Ozy.

Ray menggeleng, jelas ia tidak lupa akan hal itu. sebab, Ray maupun Ozy memang sering ke sini ketimbang ke tiga teman lainnya.

"Gue boleh gabung?" sekilas Ozy melirik Ray, lalu Cantika.

"Duduk aja kak." Cantika menyambut Ozy dengan ramah.

Ozy tersenyum pada Cantika, lalu dirinya duduk berhadapan langsung dengan Ray.

"Ohiya kak, Ozy udah pesen?" tanya Cantika.

"Belum."

"Mau sekalian aku pesenin?"

"Boleh."

Cantika mnegangguk, "Bentar ya aku ke toilet dulu."

Ray dan Ozy hanya membalas dengan senyum. Setelah Cantika benar-benar pergi, keadaan di sana mendadak hening. Tak seperti biasanya, keduanya sama-sama menyibukan diri dengan ponselnya. Aneh, itulah yang dirasa oleh Ozy ketika Ray tiba-tiba menjadi pendiam seperti ini. Mungkin saja mood Ray sedang tidak baik, untung saja Ozy tahu sifat temannnya itu seperti apa.

"Gamau cerita nih sama gue?" tanya Ozy.

Ray mendongak, "Cerita apaan?"

"Lo kayanya lagi ga mood banget, kenapa sih?"

"Gapapa." Huh, Ray hampir lupa jika Ozy tahu sekali kelemahannya.

Ozy mengangguk, ia lebih baik diam saat ini. Toh entar juga Ray pasti cerita padanya.

The Possibility Of Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang