Grub Maba🎓

399 92 40
                                    

Gue di 2019 beberapa bulan setelah pengumuman pernah masuk di grup itu. Grup wattsap yang berisikan mereka-mereka yang lolos dalam satu fakultas dan prody yang sama dengan gue. Mereka dari daerah yang berbeda-beda, dari suku yang berbeda, bahasa yang berbeda, tapi kita satu tujuan dan satu tempat singgah, di kota pelajar yang akan menuangkan banyak cerita kedepannya.

Seperti yang gue bilang, bahwa setelah pengumuman itu gue kirim berkas, jadi secara otomatis, dari pihak badan eksekutif mahasiswa sana auto gercep mengumpulkan kami dalam satu wadah online, sebelum pada akhirnya kita dipertemukan di dunia nyata.

Yang dibahas awal-awal ya perkenalan, darimana asalnya?, namanya siapa?, lolos lewat jalur apa?, dan prody apa?.

Itu pertanyaan wajib yang selalu ditanyakan tiap kali ada orang baru yang masuk dalam grup itu. Bisa dibilang, belum apa-apa kita udah ngerasa kek saudara sendiri tau gak. Bercanda lepas, katawa bareng, sharing ini itu, dan halu gak ketulungan, gimana kalo misalnya kita beneran ketemu coba.

Banyak banget yang pada akhirnya kita tambah keluarga darisana. Mulai dari luar Jawa, Jawa Tengah, Jawa Timur, hampir satu Indonesia ada. Kita bahas apapun deh yang jadi tradisi, kebudayaan, dan keseharian mereka di kampung halaman.

Tapi makin kesini mereka malah bahas soal ospek. Apa aja dibawa saat ospek, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, soal kostum, lomba, peralatan, pendaftaran ospek, dan masih banyak yang lainnya.

Sedangkan gue pada akhirnya cuma bisa nangis doang lihatin layar ponsel gue. Hampir semua snap di layar ponsel gue isinya tentang ospek di fakultas gue.

Hayalan gue udah melanglang buana kala itu, seakan gue menyalahkan keadaan. Gue tau, gue sadar itu semua gak berguna, tapi gue saat itu bener-bener frutasi. Secara gue seharusnya ada ditengah-tengah mereka. Gue ikut teriak-teriak, gue ikut tertawa, gue bisa meetup dengan temen gue, gue bisa kuliah di Universitas yang gue mau. Tapi nyatanya itu semua zonk.

Parahnya itu kenyataan pahit, bukan karena gue gak lolos, tapi karna gue mundur yang seharusnya gue gak mau mundur. Nyesek banget, tapi disisi lain gue harus pura-pura bahagia didepan orang tua gue. Bayangin aja, gue harus bersandiwara didepan mereka.

Satu hal yang gue paling gak suka saat itu adalah tertawa sekalipun itu lucu. Gue sebisa mungkin hanya senyum. Karna jujur saat itu, saat gue tertawa entah kenapa memori otak gue seakan mengajak gue untuk flashback pada satu kejadian yang sama, jadi gue jadi kebawa suasana dan meneteskan air mata. Dan itu adalah pantangan bagi gue. Gue harus selalu terlihat bahagia didepan orang-orang yang gue sayang.

Itu sebabnya gue memilih untuk menulis daripada berbicara, gue mending nulis panjang lebar kek begini daripada harus berbicara detail soal apa, siapa, atau apapun yang menyangkut pribadi gue. Gue lebih baik diam dan memendam semuanya. Jikalau pada akhirnya lu pada tau soal cerita yang gue alami, lu hanya sebatas tau cerita gue, tanpa tau siapa gue sebenarnya.

Ospek dilakukan selama tiga hari berturut-turut, lalu dilanjutkan dengan makrab (masa keakraban) yang dilakukan di salah satu tempat wisata favorit di kota pelajar itu. Tapi lagi-lagi gue cuma bisa diam, dan nangis dalam hening. Kepala gue seakan mau pecah, gue pengen kabur dari rumah, tapi gue  tak mungkin melakukan hal sebodoh itu. Selain hanya terus hidup dalam kepura-puraan, seolah menjelaskan aku sedang baik-baik saja.

Apalagi pas hari kedua ospek, temen gue dari prody sebelah tiba-tiba chat gue. Dia tanya gue kos atau mondok?, daerah mana, dia ngajak gue bareng berngkat ospek, malah ada yang ngajak gue untuk gabung sama kelompok anak-anak dari kota dia untuk membuat atribut persiapan ospek. Namun dengan berat hati akhirnya gue cerita kalo gue kagak jadi di kampus itu, mereka bertanya-tanya kenapa harus mundur sedangkan perjuangan mendapatkan itu begitu sulit. Tapi gue cuma bisa apa selain mengiyakan apa yang sudah menjadi keputusan.

Pengumuman berkas untuk bidikmisi sudah diterima pihak kampus, namun tiba-tiba gue sendiri langsung berpamitan dan mengaku mundur dari pihak kampus dan jajarannya. Gue bener-bener melepas dia yang sudah gue perjuangin jauh-jauh hari. Gue rela kurang tidur demi dia, makan gak teratur, bahkan kalo gue boleh Flashback tentang beberapa bulan yang lalu saat gue tes untuk kampus itu, gue sampe nyasar dan hampir pingsan. Tapi apa? Pas semua kabar baik itu datang gue malah mundur.

Apa ini yang dinamakan gue tak punya rasa syukur?
Apakah ini sebuah kesalahan?
Entahlah, gue kagak bisa berbicara banyak soal ini.














Cerita gue masih panjang.
Doakan gue lolos SBMPTN 2020 ya
Aamiin.

I'm Colage 2020Where stories live. Discover now