Bab 1

19.9K 1.5K 1.4K
                                    

"Yay! Aku dapat lagi!" Peter bersorak ketika ujung kailnya bergerak-gerak. Anak muda itu segera menarik pancing lalu memasukkan hasil tangkapan barunya ke dalam sebuah keranjang anyaman yang kini sudah terisi setengahnya.

"Sepertinya ini sudah cukup!" seru pemuda itu kepada Borin—sahabatnya—sambil berusaha menyalakan api untuk membakar ikan. "Matahari sebentar lagi tinggi. Ayo kita makan! Atau kau ingin bekerja dengan perut kosong?!" teriak Peter lagi. Sementara itu, Borin masih duduk termenung di tepi sungai sambil memegangi tongkat pancingnya yang sejak tadi diam tak bergerak.

Meski kesal karena tak mendapatkan seekor ikan pun, Borin terpaksa mengikuti Peter menggosok ranting kering untuk membantu menyalakan api. Keduanya lalu segera makan dengan lahap.

"Nih, makan lagi. Tubuh besarmu pasti membutuhkan lebih banyak asupan." Peter menyorongkan dua ekor ikan yang baru saja matang kepada sobatnya. Jika dibandingkan dengan Peter yang memiliki perawakan biasa saja, postur tubuh Borin lebih pendek dan gemuk.

Sambil menyambar pemberian itu, Borin terkekeh. "Terima kasih, kau memang paling memahamiku."

Kedua remaja itu memang sudah akrab sejak kecil karena dibesarkan oleh Muriel, ibu kandung Peter. Borin sendiri tidak tahu di mana orang tuanya, apakah mereka sudah mati atau masih hidup.

Karena fisiknya sangat berbeda dengan Peter, yang mata dan rambutnya sehitam jelaga, Borin—yang berambut pirang bergelombang—pernah bertanya pada Muriel mengenai orang tuanya. Namun, wanita paruh baya itu hanya mengatakan bahwa enam belas tahun lalu, ia menemukan seorang bayi di tepi sungai bersama sebuah sapu tangan dengan nama yang terbordir di salah satu sudutnya—Borin Halten.

Hanya itu yang Borin ketahui.

Setelah makan sampai kenyang, keduanya pun berjalan beriringan menuju gerbang kota yang berupa pintu kayu besar dengan tembok dari susunan batu-batu di sekelilingnya. Di bagian atasnya terdapat bendera biru putih dengan gambar pedang dan mahkota di tengahnya. Di bagian bawah bendera, terdapat tulisan :

"SELAMAT DATANG DI KOTA FORTSOUTH, IBU KOTA PULAU YAENDILL, BAGIAN DARI KERAJAAN ETHARDOS."

Di kota itulah Peter dan Borin tinggal. Sebagai kota terbesar di pulau Yaendill, Fortsouth sangat ramai. Jalannya cukup lebar untuk kereta kuda berlalu lalang. Di kanan kirinya banyak bangunan kayu bertingkat milik para pedagang kaya.

Peter dan Borin terus berjalan sambil menyapa beberapa orang yang mereka kenal. Dari pintu gerbang kota, hanya dibutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba di kastel yang merupakan tempat tinggal keluarga bangsawan Fernir. Kedua remaja itu sehari-hari memang beraktivitas di sana. Jika Peter adalah ajudan bagi seorang kesatria bernama Eric Dorner, Borin bertugas melayani Tuan Muda Ramos Fernir.

Setelah berpisah dengan Borin di gerbang, Peter pun menemui Eric di kediamannya—yang juga terletak di dalam kompleks kastel.

"Selamat pagi Tuan Eric," sapa Peter sopan.

"Peter Cornell ... kau selalu tiba tepat waktu," sahut Eric sambil tersenyum. "Tak sia-sia aku memintamu menjadi ajudanku."

"Bukankah aku tak boleh menyia-nyiakan kepercayaan seseorang." Peter membalas senyuman Eric. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong siapkan sarapan untukku. Setelah itu kau bisa berlatih menggunakan pedang kayu."

"Baik, Tuan." Tanpa menunggu, Peter pun segera menjalankan tugasnya.

Peter cukup beruntung karena diangkat sebagai ajudan oleh Eric. Banyak hal yang dapat dipelajari remaja berkulit putih itu dari tuannya. Selain kemampuan menggunakan pedang, anak itu juga mengetahui informasi mengenai ayahnya, yang tak pernah dikenalnya karena wafat pada hari ia lahir.

Putra Penyihir : Ritual Kematian [END] - Sudah Terbit (Sebagian Part Dihapus)Where stories live. Discover now