Bab 4

3.1K 725 595
                                    

Harapan mulai muncul ketika akhirnya air laut berangsur tenang dan membuat gerakan kapal lebih stabil. Berinon berjalan oleng menuju ruangan di mana Eric dan Ramos berada, bermaksud melaporkan situasi.

"Sepertinya kita mendapat keajaiban dari Tuhan. Badai akan segera berlalu," ujar Berinon sambil terengah. Namun, belum sempat ia duduk untuk beristirahat, tiba-tiba terdengar suara hantaman keras dari lambung kapal.

"Oh tidak," ratap Berinon. Sang kapten pun bergegas keluar lagi dari ruangan untuk memeriksa situasi. Tampaknya kegentingan sama sekali belum berakhir. Badai tadi telah membawa mereka menabrak sebuah batu karang dan mengakibatkan kebocoran serius. Air mengalir masuk ke dalam kapal dan mulai menenggelamkannya dengan cepat.

Berinon memerintahkan para awaknya untuk membuang air dari dalam kapal. Namun tampaknya upaya itu sama sekali tak membuahkan hasil. Debit air yang masuk jauh lebih tinggi daripada kecepatan anak buahnya mengeluarkan air. Dalam waktu beberapa menit saja, kapal sudah terendam separuhnya.

Di situ ada sebuah kapal penyelamat berkapasitas maksimal enam orang. Berinon pun segera meminta Ramos, Eric, Gladys dan Anna untuk naik ke situ. Ditambah dirinya sendiri, hanya tersisa tempat untuk satu orang lagi.

Sementara itu, Peter masih menahan tubuh Borin yang pingsan sambil berpegangan erat pada kapal yang kini sudah hampir tenggelam seluruhnya. Eric pun meminta Peter untuk segera naik meninggalkan Borin yang masih tak sadarkan diri.

"Ayo cepat naiklah, atau kau akan mati tenggelam."

"Tapi aku tak bisa meninggalkannya sendirian." Peter tampak kebingungan.

"Ayo cepat, kita tak punya waktu lagi!" desak Berinon

"Sudah, tinggalkan saja mereka!" ujar Ramos tak sabar lagi.

Mereka tak punya banyak pilihan. Kini kapal sudah tenggelam seluruhnya bersama dengan beberapa awak yang masih tersisa. Dengan terpaksa, Eric pun pergi meninggalkan Peter yang memilih untuk tetap mendampingi sahabatnya. Dari dalam sekoci, ia hanya dapat menyaksikan ajudannya megap-megap timbul tenggelam dilumat ombak sambil berpegangan pada sebilah kayu terapung.

Eric melempar pandangan ke arah lain dengan rahang mengeras dan terkatup rapat. Tangannya meremas erat bilah papan dari sekoci yang kini ia tumpangi. Hatinya terenyuh. Ia merasa kecewa pada dirinya sendiri yang gagal menjaga anak dari sahabatnya. Maafkan aku Hans, tak lama lagi, anakmu akan segera menyusulmu, bisiknya dalam hati.

Dalam suasana yang penuh kekalutan, tiba-tiba Anna berkata kepada Gladys, "Maafkan aku, Nona. Tapi aku harus pergi menolong mereka."

"Apa maksudmu? Jangan bodoh! Kau bisa mati tenggelam!" Gladys memarahi pelayannya.

"Maafkan aku jika tidak bisa melayanimu lagi, Nona." Perempuan pelayan itu mengangguk sopan dan tanpa aba-aba apa pun, ia melompat ke laut, berenang mendekati Peter.

Gladys dan yang lainnya hanya bisa terdiam memandanginya. Terpana akan kenekatannya.

Sejenak kemudian, Berinon berkata sambil menunjuk ke suatu arah, "Kita harus pergi ke sana. Menurut rumor yang pernah kudengar, di timur laut ada sebuah pulau terpencil yang terisolasi karena banyaknya karang pada perairan di sekitarnya. Hanya kapal-kapal kecil yang dapat melewatinya."

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, mereka pun mendayung menuju ke arah yang ditunjuk Berinon.

Beberapa saat kemudian, sang mentari mulai muncul malu-malu, mengakhiri malam terpanjang dan paling mengerikan sepanjang hidup Peter. Semburat jingga menyeruak mewarnai sisi timur cakrawala, seolah memberikan pengharapan baru bagi dunia.

Putra Penyihir : Ritual Kematian [END] - Sudah Terbit (Sebagian Part Dihapus)Where stories live. Discover now