Bab 3

3.7K 854 713
                                    

Merpati pembawa pesan itu diterima oleh Arden pada suatu siang. Tanpa membuka segelnya, ia bergegas menyampaikan surat itu kepada Ramos. Isinya singkat saja tetapi berhasil membuat sang tuan muda berseru kegirangan.

Untuk anakku Ramos,

Sang raja ingin menemuimu. Berangkatlah ke Kingsfort bersama Gladys dan Eric. Ia yang akan menjaga kalian selama perjalanan.

Tertanda,

Gideon

"Ini hebat! Kapan kita bisa berangkat?" Ramos bersorak seperti anak kecil yang mendapatkan sekotak permen.

"Dua hari lagi. Persiapkan segala sesuatu yang kau butuhkan," jawab Arden singkat lalu segera berlalu. Ia bermaksud menyampaikan pesan Tuan Gideon itu pada Eric dan Gladys.

Sementara itu, Peter seolah kehilangan semangat berlatihnya. Dalam beberapa hari terakhir, kemampuannya seperti tidak berkembang. Pikirannya dipenuhi oleh misteri kematian sang ayah. Ia tidak habis pikir mengapa ayahnya, yang semasa hidup memiliki reputasi baik, bisa berubah menjadi seorang pengkhianat.

Muriel, ibu Peter, juga sama tidak percayanya. Meskipun begitu, dia tak punya pilihan. Tak ada bukti yang mendukung bahwa suaminya telah difitnah. Ia pun terpaksa menerima hidupnya sebagai seorang pelayan. Gideon yang menggantikan kakaknya sebagai penguasa Fortsouth cukup baik untuk tidak menghukum mati Muriel. Ia berpendapat bahwa tidak seharusnya menimpakan kesalahan seseorang kepada istri dan anaknya.

"Kita akan berangkat ke Kingsfort dalam dua hari." Eric memberitahu Peter di sela-sela latihannya yang tidak fokus.

"Apakah aku harus ikut?" Peter merasa tidak nyaman harus berada dekat dengan Ramos selama perjalanan.

"Yah ... kurasa kau membutuhkan penyegaran. Terus berada di sini tidak akan membawamu ke mana-mana. Mungkin ada petunjuk mengenai ayahmu yang bisa kau dapatkan di ibu kota."

Peter terdiam sejenak. Tatapannya menerawang ke kejauhan.

"Hmm ... baiklah." Pada akhirnya pemuda itu menyahut lirih. Meski tidak yakin sepenuhnya dengan apa yang dikatakan Eric, ia merasa hal itu ada benarnya juga. Tetap berada di Fortsouth hanya akan membuatnya semakin terpuruk. 

Setelah itu, ia pun membantu tuannya mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke ibu kota.

"Jika ayahku seorang penyihir, mungkinkah aku juga seorang penyihir?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Peter.

"Mungkin saja. Aku tidak tahu," jawab Eric singkat.

Pada sore harinya, usai membantu Eric mempersiapkan segala sesuatu, Peter diajak oleh ibunya berkunjung ke makam ayahnya. Mereka berdua pun pergi keluar dari kota menuju sebuah tanah lapang. Di sana terdapat banyak batu nisan bertuliskan nama-nama orang yang dimakamkan.

Suasana hening. Hanya terdengar suara burung gagak yang sesekali menggaok. Peter mengikuti ibunya menyusuri jalan setapak dan tiba di sebuah batu nisan yang sederhana. Di situ tertulis :

Hans Cornell

785-820

Peter terdiam sejenak, tangannya terkepal erat sementara matanya terpejam. Anak itu jelas merindukan sosok seorang ayah.

"Mintalah perlindungan untuk perjalananmu besok," bisik Ibu Muriel. Peter hanya menurut saja meski sebenarnya ia sama sekali tak percaya bahwa orang yang sudah mati bisa melindunginya. Angin pun bertiup lembut membelai wajahnya yang tertunduk di hadapan makam sang ayah. Berbagai macam spekulasi mengenai apa yang terjadi saat kematiannya kembali berputar-putar dalam benak Peter.

Putra Penyihir : Ritual Kematian [END] - Sudah Terbit (Sebagian Part Dihapus)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora