Bab 7

2.4K 569 445
                                    

Peter mengedip-ngedipkan mata untuk menyesuaikan diri dengan pencahayaan yang minim di sekitarnya. Suara tetesan air yang terdengar bergaung, membuat suasana terasa menenangkan. Udara dingin juga tanah yang lembap di bawahnya membuat anak itu menerka-nerka dalam otaknya, di mana gerangan dirinya berada. Ia berusaha menggerakan tangan dan kakinya yang terasa kaku dan mati rasa.

Hal terakhir yang ada dalam ingatannya adalah sesosok perempuan misterius dengan sebatang bambu di mulutnya. Apakah teman-temanku selamat dan ada di sini bersamaku? tanya Peter dalam hatinya. Ia pun memutar bola mata, menelisik suasana sekitar. Batu-batuan stalagtit yang menggantung di atas langit-langit terlihat buram karena matanya belum beradaptasi maksimal.

Tak lama kemudian, Peter menyadari bahwa dirinya berada dalam sebuah gua. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah sulur di mulut gua menjadi satu-satunya sumber cahaya. Ia pun mengerang sambil berusaha meregangkan otot-otot tubuhnya.

"Kau sudah sadar?" Peter langsung mengenali suara yang baru saja didengarnya itu sebagai milik Anna. Setelah mengerahkan hampir seluruh tenaganya, ia pun berhasil menggerakkan lehernya yang kaku. Manik matanya menatap sumber suara yang baru saja menyapanya.

"Ya sepertinya begitu." Suara serak keluar dari tenggorokannya yang kering.

"Minumlah ...." Anna menyendok sebuah genangan air di ceruk batu. Ia menggunakan telapak tangannya yang ditekuk seperti mangkuk, lalu menyodorkannya ke mulut Peter.

"Apa ini?" Peter menyangka kalau perempuan itu memberinya ramuan lagi.

"Air biasa," sahut Anna datar.

Setelah menyeruput sedikit air, Peter merasa tenggorokannya lebih baik. "Terima kasih," ucapnya. "Di mana ini?" Peter melihat ke sekelilingnya dan menemukan Borin masih tergeletak pingsan di sebelahnya.

"Aku juga tak tahu. Aku pun belum lama tersadar. Sepertinya ada seseorang yang membawa kita ke sini," sahut Anna. Perempuan itu duduk sambil memeluk lututnya sendiri. Mereka pun diam selama beberapa saat.

"Jadi mengapa kau tak menggunakan sihirmu tadi?" tanya Peter tiba-tiba. Ia ingin mengenal dunia sihir lebih baik agar dapat menyingkap misteri kematian ayahnya.

Anna menatap mata Peter dalam-dalam seperti sedang mencari sesuatu di situ. "Aku tak bisa," sahutnya sejenak kemudian.

"Aku hanya menguasai mantra-mantra penyembuhan dan ramuan saja. Aku tak bisa bertarung," lirih perempuan itu.

"Ooh ... lalu kenapa kau harus merahasiakan kemampuanmu ini?" tanya Peter lebih lanjut. Ia merasa bahwa kelebihan seseorang tak seharusnya ditutup-tutupi.

"Ibuku berpesan untuk sebisa mungkin menyembunyikan kemampuanku terhadap orang asing. Beberapa orang membenci penyihir, sementara yang lain bisa saja berniat buruk dan hanya ingin memanfaatkan kemampuanku."

Mendengar penuturan Anna, Peter mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat memahami pesan itu. Seorang perempuan lemah seperti Anna sangat mudah dimanfaatkan oleh orang jahat. "Lalu mengapa kau menolong kami?" tanya Peter lagi. "Itu akan membongkar rahasiamu bukan?"

"Yah, itu karena kau tidak tampak seperti orang jahat." Anna tersenyum lalu melanjutkan, "Ibuku mengajarkan padaku bahwa kemampuan yang kumiliki adalah sebuah anugerah. Meski banyak orang berniat jahat, jangan sampai aku menjadi egois dan tidak mau menolong orang demi menutupi kemampuanku. Ia menghendakiku untuk tetap membantu mereka yang membutuhkan. Hanya saja dengan cara yang tidak terlalu menonjol, agar jangan sampai membawa bahaya untukku."

"Ibumu orang yang sangat bijak. Lalu di mana dia sekarang?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Peter. Mendengar itu, Anna kembali menatap Peter sesaat lalu melemparkan pandangannya menerawang memandangi dinding gua yang berlumut. Matanya tampak mulai berkaca-kaca.

Putra Penyihir : Ritual Kematian [END] - Sudah Terbit (Sebagian Part Dihapus)Where stories live. Discover now