Bagian 5

6.2K 299 8
                                    

Pov:  Danu

.

"Sayang, Mas bisa jelasin," ucapku mempererat pelukan.

Ema mengerti, dia langsung berlalu pergi meninggalkan kami berdua. Aku tahu perasaan yura saat ini. Dia pasti hancur, dia pasti merasa tak bisa membahagiakan aku. Aku terus berusaha menenangkannya.

Ku tuntun dia masuk ke kamar. Kududukkan dia di sisi ranjang. Tubuhnya bergetar hebat, kuraih kepalanya yang di balut jilbab warna cream lalu kucium keningnya.

"Sayang, lihat Mas," ucapku lirih. Kubingkai wajahnya dengan kedua telapak tangan. Matanya masih terpejam, wajah itu basah oleh air mata.

"Apa pun yang terjadi sama kamu, Mas tetap sayang sama kamu."

Yura membuka mata, dia mencoba bicara.

"Ma ... Mas, kenapa Mas bohong sama aku?"

"Karena Mas nggak mau lihat kamu hancur, Sayang." Yura semakin tergugu. Aku mencoba memeluk, tapi dia menghindariku.

"Mas, dengan seperti ini kamu semakin membuatku hancur. Bagaimana kau memikirkan kebahagiaanku dengan mengorbankan kebahagiaanmu. Mas... Aku MANDUL, Mas. Aku MANDUL!!" ucapnya penuh penekanan.

Ia turun dari ranjang dan bersandar ke dinding, di peluknya lutut sangat erat. Wanitaku meraung menangis meratapi kenyataan. Aku mencoba mendekat, mengusap kepalanya, tapi dengan cepat ia menepisnya.

"Sayang, maafin Mas." ucapku lirih.

"Mas, cari kebahagiaanmu sendiri, Mas. Selamanya aku tidak akan pernah bisa memberimu anak." Yura semakin tergugu. Bahunya semakin bergetar.

Aku melangkah keluar mencari Papa. Kulihat dengan santainya dia membaca koran di taman belakang.

"Kenapa? Mau marah?" tanyanya santai, matanya masih fokus dengan koran di tangan.

"Aku sudah menuruti kemauan Papa untuk menikah lagi. Mengapa Papa mengingkari janji?" suaraku meninggi.

"Sudahlah, apa sih lebihnya wanita itu sampai kau habis-habisan membelanya? Pikirkan masa depanmu, masa tuamu. Siapa yang akan mengurusmu esok di hari tua kalau bukan anak?" katanya membolak-balik koran di tangan.

"Pa! Jangan lupakan pengorbanannya untuk keluarga kita. Sebelum Mama meninggal, selama enam bulan Yura dengan ikhlas mengurusnya. Dia tidak pernah mengeluh sedikit pun. Mama bahkan tidak mau di urus oleh orang lain selain dia. Papa lupa betapa berartinya Yura buat Mama?"

"Kebetulan saja, istrimu itu tidak bekerja. Dari pada dia terus di rumah lebih baik bantu-bantu kita ngurus Mama, kan?"

"Astagfirullahalazimm ... " Kuusap dadaku berulang kali. Mencoba mengendalikan emosi. Terbuat dari apa hati pria di hadapanku ini. Dia lupa apapun kebaikan yang pernah di torehkan Yura di keluarga ini. Hanya karena Yura tidak bisa memberikan keturunan. Siapa yang mau berada di posisi Yura? Tentu dia pun sangat menginginkan hadirnya seorang anak di tengah-tengah kami.

Aku meninggalkan Papa yang masih sibuk membaca koran di taman belakang. Kulihat Ema duduk di ruang tengah, sendirian. Aku mengacuhkannya. Niat awal menikahinya agar Papa tidak bicara perihal sebenarnya pada Yura. Kini setelah pernikahan itu terlanjur terlaksana Papa malah tidak menepati janji. Aku membuat hancur wanita yang sangat kusayangi itu berkali-kali.

Kubuka pintu kamar. Dia tidak ada lagi di sana. Aku berlari menuruni anak tangga. Ema yang melihatku berlari segera menyusul dari belakang. Kucari dia di halaman, di berbagai arah. Tak juga kutemukan.

"Mas, ada apa?" tanya Ema.
"Yura tidak ada lagi di kamar," jawabku cemas.
"Mungkin Mbak Yura pulang, Mas. Kita coba cari di rumah, ya."
Ema ada benarnya mungkin dia pulang ke rumah. Aku segera berlari menuju arah mobil terparkir kemudian secepat kilat melesat masuk. Sampai di depan Ema melambaikan tangannya. Hampir aku lupa mengajaknya pulang.

Dua RanjangOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz