Bagian 7

6.3K 319 29
                                    


Pov: Ema
.

Aku naik ambulan sampei ke rumah karena sekaligus membawa jenazah Yudha. Sedangkan Mas Danu pulang lebih dulu. Sampai dirumah ternyata sudah banyak tetangga berdatangan. Menyiapkan keperluan untuk pemakaman dan lain sebagainya. Aku tersedu di samping jenazah Yudha di ruang tamu bersama para tetangga.

Hingga aku menyadari tidak ada Mba Yura ataupun Mas Danu di sini. Aku mencoba mencari mereka ke atas, perlahan membuka pintu kamar. Kulihat Mas Yudha sedang duduk di ujung ranjang sambil memegang secarik kertas, kepalanya menunduk menatap lantai.

"Mas," panggilku. Mas Danu masih mematung. Aku mendekatinya dan mengambil kertas yang ada di tangannya.

----

Dear Suamiku

Mas, jika kamu temukan surat ini, mungkin aku sudah tidak di sini lagi. Mas aku bahagia menjalani hampir 6 tahun berumah tangga bersamamu, sikapmu yang lembut, kasih sayangmu yang tulus dan tanggung jawabmu yang tinggi.

Hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku adalah pernah menjadi wanita paling bahagia di dunia ini sebagai istrimu. Mas, maaf karena aku tidak bisa membahagiakanmu. Maaf karena aku masih menyalahkanmu karena rahasia besar yang kau simpan rapat hanya untuk menjaga perasaanku.

Hidup bahagialah tanpa aku, Mas. Aku akan mencari kehidupanku sendiri. Jika Mas terus bersamaKu Mas akan tersiksa, baik oleh Papa ataupun olehku yang selalu merasa cemburu dan takut Mas akan membagi rasa.

Aku bersikap seperti ini bukan karena aku tidak mencintai Mas lagi, justru karena aku sangat mencintaimu dan berharap Mas mendapatkan hal terbaik di dunia ini. Mas, jangan cari aku.

Jalani kehidupan Mas seperti biasa. Mas akan terbiasa dengan keadaan ini. Mungkin awalnya sulit, tapi aku yakin dengan berjalannya waktu Mas akan menemukan kebahagiaan yang baru.

Salam sayang.

Yura

------

Kertas itu jatuh ke lantai, cucuran air mata semakin membasahi wajah.

"Dek, Mas harus cari Mbakmu, Yura. Bisakah kau mengurus pemakaman ini sendiri? Mas nggak bisa menunggu untuk menemukannya." Mas Danu tertunduk memegang erat kepala.

Aku menarik napas panjang, kemudian berusaha bicara dengan suara serak.

"Sii si lakan, Mas. Aku bisa mengurus ini sendiri," sahutku dengan dada penuh sesak. Mengapa Mba Yura melakukan semua ini di saat keadaanku sedang hancur.

"Terima kasih, Dek. Mas minta maaf sebelumnya," kata Mas Danu.

Mas Danu beranjak dan menyambar jaket kulit di atas sofa lalu keluar kamar. Tubuhku lunglai ke lantai, menangis tergugu sendirian. Puas menangis aku turun ke bawah kembali duduk di sisi jenazah saudaraku satu-satunya.

'Siapa lagi yang akan mendengar keluh kesah Mba, Dek!' jerit ku dalam hati dengan mata terpejam. Perih menggerogoti jiwa yang kini semakin melemah.

"Nak, sabar!" ucap seseorang sambil membelai kepalaku. Aku menoleh, ternyata Papanya Mas Danu.

"Danu menelpon Papa, dia memberi tahu semuanya. Kamu sabar, ya. Yudha sudah tenang di alam sama," katanya sembari membenamkan kepalaku di dadanya. "Papa akan mengurus semuanya, kamu tenang saja, ya!"

Aku hanya mengangguk lemah.

***

1 minggu kemudian.

Setelah pemakaman Papa langsung pamit pulang. Mas Danu belum pulang ke rumah. Entah di mana Mas Danu sekarang. Aku mencoba menghubunginya tapi selalu di luar jangkauan.

Dua RanjangWhere stories live. Discover now