Bagian 14

7K 342 16
                                    


Pov : Yura

Aku meminta Mas Danu untuk tidak menemuiku sepulang dari hotel waktu itu. Bahkan aku tidak pernah memberikan nomor ponselku padanya. Sejujurnya aku bimbang jika harus kembali bersama Mas Danu, meskipun kenyataannya aku wanita yang sangat beruntung bisa memiliki lelaki sepertinya.

Ibu Nur masih lama pulang dari luar kota. Kesendirian membuat pikiranku semakin melayang. Sedang apakah Mas Danu di sana? Apakah dia sedang memikirkanku juga?

Drett ... dreet ... dreet ....

Ponselku bergetar di atas nakas, dengan malas aku beringsut dari ranjang lalu membaca isi pesannya.

[Assalamulaikum, Yun. Hari ini aku datang sama Ibu, ke rumahmu]

Maunya Hamza apa sih? Kenapa dia sangat ingin mempertemukan aku dan Ibunya? Dengan segala pertimbangan akhirnya aku membalas pesannya.

[Za, kita bisa ketemu di cafe, tidak harus datang ke rumah kan?] send.

[Ini serius, Yun. Ibu pengen bicara sama kamu]

Aku tidak membalasnya, kubiarkan ponsel itu bergetar beberapa kali.

***

“Bik, makan ikan asin kayaknya enak, ya!” kataku siang itu pada Bik Nung ketika kami sedang masak bersama di dapur.

“Non mau juga makan ikan asin?” tanya Bik Nung heran.

“Emang kenapa?”

“Nggak apa-apa sih, Non. Heran aja, ada juga ternyata orang cantik yang mau makan ikan asin,” kata Bik Nung mengulum senyum.

“Ya Ampun Bik, ya iyalah cantik. Masa iya perempuan tampan? Hemm, emang Bik Nung aja yang mau?”

“Kalau saya mah orang susah, Non. Biasa aja makan ikan asin. Lah kalau Non? Seorang penyanyi, masak mau makan ikan asin, hihhihi.” Bik Nung tertawa.

“Ah, Bik Nung suka gitu.” Aku memonyongkan bibirku kesal. “ Kita di mata Allah sama saja, Bik. Hanya amal ibadah yang membedakan. Sudah, ah! Kok aku jadi ceramah sih, ayukk kita masak!” Aku ikut tertawa dan mengajak kembali memasak.

Kami memasak sambil bercanda. Aku berusaha melupakan semua kesedihan yang sejak kemarin menguap. Aku mencoba rileks dan berpikir positif, semua yang kujalani sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa. Aku tidak ingin protes apalagi mengeluh, berusaha ikhlas dan menerima dengan lapang dada adalah hal terbaik.

Ketika sedang asik memasak terdengar bel berbunyi. Sepertinya ada tamu.

“Non, saya buka pintu dulu,” pamit Bik Nung.

“Eh Bik, biar saya saja,” kataku sembari mencuci tangan di keran.

Sampai di depan kubukakan pintu, terlihat Hamzah bersama wanita paruh baya yang kukenal.
Aku langsung menyalami Bu Nike dan Hamzah kemudian mempersilakan mereka masuk.

“Tumben, Bu. Mampir ke sini? Ada perlu apakah? Karena biasanya kita bertemu di cafe,” tanyaku setelah kami duduk di sofa ruang tamu.

“Begini, Yun. Ibu ini sudah tua, Hamza tidak mau wanita lainnya dia hanya ingin kamu, Yun.”

Aku diam saja, sebenarnya aku masih kesal dengan sikap Hamza kemarin pada Mas Danu.

“Bu ... apa Hamza sudah cerita kalau saya ini ... “

“Masih istri orang?” tanya Ibu memotong kalimatku, dia mengulas senyum lalu berkata “Kami tidak memaksa, kok.”

“Eh, iya Bu. Ada satu hal lagi“ jawabku sedikit merasa tidak enak. Bu Nike beranjak dan duduk di sisiku. Di belainya kepalaku.

Dua RanjangWhere stories live. Discover now