Bagian 11

5.9K 367 30
                                    


Pov. Danu.

.

Dia selesai bernyanyi, seulas senyum di tunjukkan pada semua orang. Tahukah dia bahwa aku yang paling merindukan senyum itu. Aku menarik napas berusaha memberi ruang di hati.

Kebahagiaan tiada terkira membuncah saat ini. Tanpa kusadari aku berdiri, memperhatikan dia berbincang dengan host di atas sana. Yura terlihat bahagia, ia bahkan terlihat lebih cantik dan segar. Perlahan kuhapus setitik air mata yang meleleh di pipi. Aku tersenyum tipis, senyum bahagia tanpa mengalihkan pandanganku dari sosok yang sedang duduk di atas sana.

Dengan seksama aku memperhatikan dia menjawab pertanyaan dari seorang wanita yang duduk di sudut ruangan. Aku merasa jawaban Yura saat dia bicara menahan rindu, itu tertuju untukku.

"Baiklah, ada lagi?" teriak host.

"Saya!" Aku mengangkat tangan, perlahan lampu menyorot ke arahku. Tergopoh seseorang memberikan sebuah mic padaku. Lama kutatap wajah ayu itu. Dia terus saja tertunduk.

'Kumohon jangan sembunyikan wajahmu dariku Sayang. Cukup satu tahun aku kehilanganmu, kumohon jangan seperti itu,' perih hatiku mengiba.

"Perkenalkan nama saya Danu," ucapku memperkenalkan diri. Entah mengapa wajah Yura seperti enggan melihatku. Sebenci itukah Ia denganku?

"Mbak, Yunita. Bisakah Mba melihat ke arah saya," pintaku karena wanita yang sangat kucintai itu terus menyembunyikan wajahnya.

Perlahan Yura mengangkat wajahnya, dia mengulas senyum getir di bibir, aku tau banyak hal yang mungkin membuatnya trauma kembali bersamaku. Sikap Papa yang berlebihan membuat hatinya tersayat. Tapi, dia harus tau Papa sudah menyadari semuanya dan kini sedang terbaring lemah di rumah sakit.

"Silakan, Mas ... " ucapnya. Rasanya Mataku di penuhi serpihan kaca. Dia bahkan enggan menyebut namaku.

"Mas, Danu. Mbak bisa panggil saya Mas Danu," sahut ku menatap tajam ke bola matanya. Dia mengalihkan pandangan ke belakang kemudian terlihat mengusap ujung matanya. Lalu Kembali  menoleh ke depan.

"Iya, silahkan Mas Danu. Apa yang ingin anda tanyakan."

"Boleh saya tau, siapakah orang yang sangat Mba Yunita rindukan? Dan apakah Mba Yunita yakin dia kini sudah bahagia?"

Yura terdiam, aku merasa seolah hanya ada kami berdua di sini. Lama kami saling tatap, hanya mata kami yang bicara, aku merasakan dia pun merindukan ku sama seperti rasa rinduku padanya.

"Maaf, Mas. Itu hal pribadi yang tidak bisa di utarakan di sini. Biarlah hanya saya dan Allah yang tahu." jawabnya setelah kami lama membisu.

"Bagaimana, Pak? Apa kah anda sudah jelas dengan jawaban penyanyi kami," tanya host berjalan mendekat ke arah Yura.

"Saya menghargai jika Mba Yunita tidak ingin menjawabnya, saya ingin bertanya satu hal lagi. Saya mohon di jawab. Hanya satu pertanyaan ini," pintaku dengan wajah memelas padanya.

"Silakan, Mas Danu."

"Seberapa penting arti seorang suami bagi Mba Yunita dan apa arti mencintai? Hanya itu Terima kasih." Aku menyerahkan mic pada pelayan lalu kembali duduk.

Ema dan Ikbal menatapku penuh tanya. Sedangkan aku tidak sabar menunggu jawaban darinya.

"Terima kasih, Mas Danu pertanyaannya. Suami bagi saya itu ibarat perisai dan seperti lilin yang selalu menerangi langkah kaki supaya kita tidak tersesat. Padanya kita menyandarkan hidup, menyandarkan harapan dan masa depan." Yura tampak menarik napas dalam lalu kembali berucap.  "Kadang kita harus pergi untuk kebahagiaan orang lain, terlebih ketika kita sadari, keberadaan kita hanya membuatnya tak bahagia. Tidak ada yang melarang kita mencintai orang lain, hanya saja kadang mencintai itu tak harus memiliki."

Dua RanjangWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu