Prolog

372 37 6
                                    


Hari ini adalah hari yang paling kutunggu-tunggu dalam tiga bulan terakhir.

Papa akan mengenalkanku pada calon adik perempuanku. Well, sejak Papa mengutarakan niatnya untuk menikahi Tante Rika tiga bulan yang lalu, aku terus mendesak Papa untuk mempertemukanku dengan anak semata wayang Tante Rika.

Tante Rika adalah sekretaris Papa, seorang wanita paruh baya dengan wajah manis ditambah tutur kata yang lemah lembut. Pembawaannya pun tenang dan sangat giat bekerja. Aku tahu Tante Rika mempunyai seorang anak perempuan dari hasil pernikahannya dulu. Aku sempat melihat wajah anaknya ketika melewati meja kerja Tante Rika. Di sana ada foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah dan menghadap pada kamera dengan mata sendu dan wajah tanpa ekspresi. Foto yang biasa digunakan untuk foto ijazah itu dimasukkan dalam bingkai di atas mejanya. Semenjak melihat foto itu, aku sering terbayang-bayang dengan matanya. Seolah ada yang menarikku untuk mengenalnya.

Tapi keinginanku untuk mengenalnya harus dibarengi dengan kesabaran. Katanya dia masih sibuk dengan sekolahnya sehingga belum punya waktu untuk menemuiku. Padahal aku sangat excited membayangkan punya seorang adik perempuan. Jadi ketika mereka akhirnya memberi tahuku tentang pertemuan ini, aku langsung membatalkan semua janji nongkrong dengan teman-teman. Seperti dreams come true, kesabaranku membuahkan hasil. Akhirnya hari ini pun tiba.

Aku ingin memberi kesan yang terbaik di pertemuan kami yang pertama kali. Kupilih kemeja terbaik yang berada dalam tumpukan baju di almari lalu aku menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Tak lupa aku merapikan rambut cepakku. Setelahnya aku mematutkan diri di depan kaca. Aku mendengus geli. Tingkahku ini tidak ada bedanya dengan ketika aku pertama kali berkencan dahulu.

Tidak hanya itu saja, selama di perjalanan menuju rumah makan tempat pertemuan kami, jantungku tidak pernah berhenti berdegup kencang. Aku sangat gugup.

Aku pun penasaran apa yang gadis itu pikirkan ketika bertemu denganku.

Apakah dia sama senangnya sepertiku?

Apakah dia akan menerimaku sebagai kakaknya?

Apakah aku bisa akrab dengannya?

Bagaimana kalau ternyata dia tidak menyukaiku?

Ah, segala macam keparnoan membuat diriku gelisah tidak menentu.

Segera saja kuhapus kegelisahanku. Kuyakinkan pada diriku sendiri kalau aku hanya harus bersikap seperti diriku yang biasanya. Lakukan sebaik mungkin, jangan berbuat kesalahan dan yang terpenting jangan membuatnya canggung denganku.

Waktuku untuk bertemu dengannya pun semakin dekat. Kini aku sudah membuka pintu rumah makan dan langsung bisa menemukan Tante Rika—dan tentu saja dia. Mataku tidak pernah lepas pada seorang gadis yang sejak aku memasuki rumah makan ini terus menundukkan kepala sambil mengaduk-aduk gelas minumannya.

"Maaf, membuatmu menunggu lama," kata Papa pada Tante Rika.

"Baru datang juga, kok," jawab Tante Rika.

Gadis itu masih belum mengangkat mukanya sehingga aku tidak bisa membaca raut mukanya.

Papa duduk di kursi dekat Tante Rika. Aku menyusul, menggeret sebuah kursi di dekatnya. Namun sebelum aku duduk, Papa memperkenalkanku pada anak perempuan Tante Rika.

"Grey, kenalkan ini Tio, anak sulung Om dan Zian, anak bungsu Om."

Namanya Greysia. Papa biasanya menyebutnya Grey ketika bercerita tentangnya. Sedetik kemudian, Grey mendongakkan kepalanya. Bulu mata lentiknya bergerak ke atas sehingga aku bertemu pandang dengan sepasang mata sendu yang sebelumnya hanya bisa kulihat lewat foto.

Aku mengulurkan tangan kananku padanya seraya memperkenalkan diri, "Tio."

Namun balasan yang diberikannya membuatku menelan ludah. Dia tidak menyambut uluran tanganku melainkan hanya menganggukkan kepalanya pelan lalu dia menenggak air minum di gelasnya.

Apa-apaan ini?

Hanya udara dingin menyambut telapak tanganku yang terulur. Dengan berat hati dan sakit hati, aku menarik kembali tanganku lalu memilih duduk di kursi. Aku menarik napas panjang untuk mengontrol emosiku.

Ingat Tio, ini pertemuan pertama kalian dan kamu sudah berjanji akan meninggalkan kesan baik padanya.

Selama makan malam berlangsung aku terus memperhatikan Grey. Dia duduk terdiam di tempatnya. Dia hanya mengeluarkan suara saat ditanya tentang makanan yang ingin dia pesan. Selebihnya dia makan dalam diam dan tidak tertarik untuk ikut dalam pembicaraan. Walaupun Tante Rika dan Papa berulang kali mencoba untuk melibatkan Grey dalam obrolan.

"Grey, bagaimana sekolahmu?" tanya Papa.

"Baik," jawab Grey tanpa menoleh.

"Satu tahun lagi kamu lulus, kan? Mau lanjut ke mana?" tanya Papa lagi, belum menyerah.

Grey menjawab dengan sebuah kerdikan bahu.

"Belum memilih ya? Tenang saja masih ada waktu satu tahun untuk memikirkan, atau kamu bisa bertanya pada Tio tentang perkuliahan. Dia jurusan Ilmu Komunikasi."

Grey menjawab dengan gumaman.

Aku sontak menoleh pada Papa untuk memastikan raut wajah Papa saat ini. Tidakkah dia sakit hati mendapati tanggapan tidak bersahabat dari Grey?

Namun aku tidak menemukan raut wajah marah ataupun sakit hati dari Papa, malahan Papa tersenyum padaku.

Aku mengernyit lalu menatap gadis yang sedang mengaduk makanannya tanpa selera di depanku. Ibunya seorang wanita yang lemah lembut tapi kenapa anaknya tidak punya sopan santun. Atau dia hanya masih malu saja?

Seketika bayangan untuk mempunyai adik perempuan yang manis hancur berkeping-keping si benakku.

**

GREYSIAWhere stories live. Discover now